Kabupaten Blitar yaitu salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Timur, Indonesia. Pusat pemerintahan kabupaten ini tidak sewenang-wenang di Kota Kanigoro sehabis sebelumnya satu wilayah dengan Kota Blitar.[1]
Geografi
Batas wilayah
» Kabupaten Blitar
| » Jumlah Kecamatan/Distrik : 22 » Jumlah Kelurahan + Kelurahan : 248 » Luas Wilayah : 1.336,48 km² (BPS 2013) » Jumlah Penduduk : 1.089.509 (DKCS 2013) » Range Alokasi Kode POS : 661 xx » Range Realita Kode POS : 66151 - 66194 |
Kondisi tanah
Gunung Kelud (1.731 m. dpl.) yaitu salah satu gunung api strato yang masih aktif di Pulau Jawa yang terletak di anggota utara kabupaten ini bersamaan batasnya langsung dengan Kabupaten Kediri. Anggota selatan Kabupaten Blitar yang dipisahkan oleh Sungai Brantas dikenal sebagai penghasil kaolin dan dilewati oleh Pegunungan Kapur Selatan. Pantai yang terkenal selang lain Pantai Tambakrejo, Serang dan Jalasutra.
Blitar, patut kota maupun kabupaten, terletak di kaki Gunung Kelud, Jawa Timur. Daerah Blitar selalu terkena lahar Gunung Kelud yang sudah meletus puluhan kali termasuk dalam perhitungan sejak tahun 1331. Lapisan-lapisan tanah vulkanik yang banyak ditemukan di Blitar pada hakikatnya adalah hasil pembekuan lahar Gunung Kelud yang telah meletus secara berkala sejak bertahun-tahun yang lewat.
Kondisi tanah di daerah Blitar yang kebanyakan berupa tanah vulkanik, mengandung debu letusan gunung berapi, pasir dan napal (batu kapur yang tercampur tanah liat). Tanah tersebut biasanya berwarna abu-abu kekuningan, bersifat masam, gembur dan peka terhadap erosi. Tanah semacam itu dinamakan regosol yang bisa dimanfaatkan untuk menanam padi, tebu, tembakau dan sayur mayur. Selain hijaunya persawahan yang sekarang mendominasi pemandangan dunia di daerah Kabupaten Blitar, ditanam pula tanaman tembakau di daerah ini. Tembakau ini mulai ditanam sejak Belanda berhasil menguasai daerah ini sekitar seratus tahun ke-17. Bahkan kemajuan ekonomi Blitar pernah ditentukan dengan keberhasilan atau kegagalan produksi tembakau.
Sungai Brantas yang mengalir dari timur ke barat membagi Kabupaten Blitar dijadikan dua, yaitu anggota utara dan selatan. Anggota selatan Kabupaten Blitar (sering dinamakan Blitar Selatan) kebanyakan tanahnya berjenis grumusol. Tanah semacam ini hanya produktif bila dimanfaatkan untuk menanam ketela pohon, jagung dan jati.
Sungai Brantas
Sungai Brantas adalah sungai terpanjang kedua di Jawa Timur sehabis Bengawan Solo (sebagian mengalir di wilayah Jawa Tengah). Sungai ini memegang peranan penting dalam sejarah politik maupun sosial Provinsi Jawa Timur. Sungai yang berhulu di Gunung Arjuno ini turut membawa unsur-unsur utama dari dataran tinggi aluvial di Malang yang bersifat masam sehingga menghasilkan unsur garam yang berguna bagi kesuburan tanah.
Di Kabupaten Blitar, arus air Sungai Brantas diberi tambahan unsur utama sehingga mengakibatkan daerah dataran rendah aluvial perlintasan Sungai Brantas, seperti Tulungagung dan Kediri, hadir tanah yang subur.Di Blitar juga masa ini terdapat dua waduk/bendungan yakni Wlingi Raya dan Selorejo.
Sejarah
Asal nama
Nama Blitar dipercaya berasal dari frase bali dadi latar (kembali aci halaman). Kata tersebut diteriakkan oleh Prabu Mahesa Sura masa meregang nyawa di sumur yang dibuatnya sendiri sebagai mahar untuk Dewi Kilaswara.
Masa kerajaan
Tiga daerah subur, yaitu Malang, Kediri dan Mojokerto, berakan "diciptakan" oleh Sungai Brantas sebagai pusat letak suatu pemerintahan, berlandaskan dengan teori natural seats of power yang dicetuskan oleh berbakat geopolitik, Sir Halford Mackinder, pada tahun 1919. Teori tersebut memang tidak sewenang-wenang tidak sewenang-wenangnya karena kerajaan-kerajaan agung yang didirikan di Jawa Timur, seperti Kerajaan Kediri, Kerajaan Singosari dan Kerajaan Majapahit, semuanya beribukota di akrab daerah arus Sungai Brantas.
Bila masa ini Kediri dan Malang bisa dicapai menyeberangi tiga jalan utama, yaitu menyeberangi Mojosari, Ngantang, atau Blitar, karenanya tanpa demikian dengan masa lewat. Dahulu orang hanya mau memakai jalur menyeberangi Mojosari atau Blitar bila ingin bepergian ke Kediri atau Malang. Hal ini diakibatkan karena masa itu, jalur yang menyeberangi Ngantang masih terlalu berbahaya untuk ditempuh, seperti yang pernah dikemukakan oleh J.K.J de Jonge dan M.L. van de Venter pada tahun 1909.
Jalur utara yang menyeberangi Mojosari sebenarnya masa itu juga masih sulit dilewati mengingat banyaknya daerah rawa di sekitar muara Sungai Porong. Di lokasi itu pula, Laskar Jayakatwang yang telah susah payah mengejar Raden Wijaya pada tahun 1292 gagal menangkapnya karena area yang terlalu sulit. Oleh karena itulah, jalur yang menyeberangi Blitar lebih disenangi orang karena lebih mudah dan terlindung untuk ditempuh, didukung oleh kondisi dunianya yang cukup landai.
Pada seratus tahun dahulu (namun masih bertahan hingga sekarang), daerah Blitar adalah daerah pelintasan selang Dhoho (Kediri) dengan Tumapel (Malang) yang paling cepat dan mudah. Di sinilah peranan penting yang dimiliki Blitar, yaitu daerah yang menguasai jalur transportasi selang dua daerah yang bergantian bersaing (Panjalu dan Jenggala serta Dhoho dan Singosari). Banyaknya prasasti yang ditemukan di daerah ini (kira-kira 21 prasasti) bisa dikaitkan dengan pendapat tersebut.
Kitab Negarakertagama
Pendapat yang menyebut bahwa Kabupaten Blitar adalah daerah batas selang Dhoho dengan Tumapel bisa disimpulkan dari salah satu kisah dalam Kitab Negarakertagama karya Empu Prapanca. Disebutkan dalam kitab tersebut bahwa Raja Airlangga berkeinginan Empu Bharada untuk membagi Kerajaan Kediri dijadikan dua, yaitu Panjalu dan Jenggala. Empu Bharada menyanggupinya dan menerapkan titah tersebut dengan agenda menuangkan air kendi dari ketinggian.[2] Air tersebut konon berubah dijadikan sungai yang memisahkan Kerajaan Panjalu dan Kerajaan Jenggala. Letak dan nama sungai ini belum diketahui dengan pasti sampai sekarang, tetapi beberapa berbakat sejarah berpendapat bahwa sungai tersebut yaitu Sungai Lekso (masyarakat sekitar menyebutnya Kali Lekso). Pendapat tersebut didasarkan atas landasan etimologis tentang nama sungai yang disebutkan dalam Kitab Pararaton.
Kitab Pararaton
Diceritakan dalam Kitab Pararaton bahwa balatentara Daha yang diberi petunjuk oleh Raja Jayakatwang bermaksud menyerang pasukan Kerajaan Singosari yang diberi petunjuk oleh Raja Kertanegara menyeberangi jalur utara (Mojosari). Adapun yang memainkan usaha menyeberangi jalur selatan disebutkan dalam Kitab Pararaton dengan sapaan saking pinggir Aksa anuju in Lawor.... anjugjugring Singosari pisan yang berarti dari tepi Aksa menuju Lawor.... langsung menuju Singosari.[3] Nama atau kata Aksa yang muncul dalam sapaan tersebut diperhitungkan adalah kependekan dari Kali Aksa yang kemudiannya seberapa berubah nama dijadikan Kali Lekso. Pendapat ini diperkeras pulang dengan peta buatan seratus tahun ke-17 (digambar ulang oleh De Jonge) yang menyebut bahwa ...di sebelah timur sungai ini (Sungai Lekso) yaitu wilayah Malang dan di sebelah baratnya yaitu wilayah Blitar.[4]
Candi
Oleh karena letaknya yang strategis, Blitar penting berarti bagi agenda keagamaan, terutama Hindu, pada masa lewat. Lebih dari 12 candi tersebar di seantero Blitar. Adapun candi yang paling terkenal di daerah ini yaitu Candi Penataran yang terletak di Kelurahan Penataran, Disktrik Nglegok. Menurut riwayatnya, Candi Penataran dahulu adalah candi negara atau candi utama kerajaan. Pembangunan Candi Penataran dimulai ketika Raja Kertajaya mempersembahkan sima untuk memuja sira paduka bhatara palah yang berangka tahun Saka 1119 (1197 Masehi).
Nama Penataran ini kemungkinan agung bukan nama candinya, melainkan nama statusnya sebagai candi utama kerajaan. Candi-candi pusat semacam ini di Bali juga dinamakan dengan penataran, misalnya Pura Panataransasih. Menurut seorang berbakat, kata natar berarti pusat, sehingga Candi Penataran di sini bisa diartikan sebagai candi pusat. Selengkapnya, silakan lihat laman Candi Penataran.
Di sebelah timur Candi Penataran terdapat Candi Plumbangan yang berlokasi di Disktrik Doko yang oleh masyarakat setempat juga dijadikan sebagai objek wisata.
Hari aci
Salah satu sumber sejarah yang paling penting yaitu prasasti karena adalah dokumen tertulis yang asli dan terlindung kebenarannya.[5] Prasasti bisa diartikan sebagai tulisan dalam bangun puisi yang berupa pujian.[6]
Enam seratus tahun yang lewat, tepatnya pada bulan Waisaka tahun Saka 1283 atau 1361 Masehi, Raja Majapahit yang bernama Hayam Wuruk beserta para pengiringnya menyempatkan diri singgah di Blitar untuk menyelenggarakan upacara pemujaan di Candi Penataran. Rombongan itu tanpa hanya singgah di Candi Penataran, tetapi juga ke tempat-tempat lain yang diasumsikan suci, yaitu Sawentar (Lwangwentar) di Kanigoro, Jimbe, Lodoyo, Simping (Sumberjati) di Kademangan dan Mleri (Weleri) di Srengat.
Hayam Wuruk tanpa hanya sekali singgah di Blitar. Pada tahun 1357 Masehi (1279 Saka) Hayam Wuruk berkunjung pulang ke Blitar untuk meninjau daerah pantai selatan dan menginap selama beberapa hari di Lodoyo.[7] Hal itu mencerminkan betapa pentingnya daerah Blitar kala itu, sehingga Hayam Wuruk pun tanpa segan untuk menerapkan dua kali kunjungan istimewa dengan tujuan yang berbeda ke daerah ini.
Pada tahun 1316 dan 1317 Kerajaan Majapahit carut marut karena terjadi pemberontakan yang diberi petunjuk oleh Kuti dan Sengkuni. Kondisi itu memaksa Raja Jayanegara untuk menyelamatkan diri ke kelurahan Bedander dengan pengawalan pasukan Bhayangkara dibawah pimpinan Gajah Mada. Berkat siasat Gajah Mada, Jayanegara berhasil pulang naik tahta dengan selamat. Adapun Kuti dan Sengkuni berhasil diringkus dan kemudian dihukum mati.[8] Oleh karena sambutan hangat dan pengamanan ketat yang diberikan penduduk Kelurahan Bedander, karenanya Jayanegara pun memberikan hadiah berupa prasasti untuk para penduduk kelurahan tersebut. Tanpa diragukan pulang bahwa pemberian prasasti ini adalah peristiwa penting karena menjadikan Blitar sebagai daerah swatantra di bawah naungan Kerajaan Majapahit. Peristiwa bersejarah tersebut terjadi pada hari Hari pertama Pahing bulan Srawana tahun Saka 1246 atau 5 Agustus 1324 Masehi, berlandaskan dengan tanggal yang tercantum pada prasasti. Tanggal itulah yang kemudiannya diperingati sebagai hari aci Kabupaten Blitar setiap tahunnya.
Arti simbol
Simbol Daerah Kabupaten Blitar terdiri dari 9 (sembilan) anggota dengan bangun, jenis dan maknanya sebagai berikut:[9]
- Bangun seluruhnya adalah segi lima : Simbol Pancasila.
- Candi penataran : Peninggalan Majapahit sebagai simbol kebudayaan yang luhur.
- Keris Pusaka : Simbol semangat dan jiwa kepahlawanan rakyat Blitar, sejak masa dahulu hingga sekarang.
- Sungai brantas dengan warna biru diatas landasan warna hijau dan kuning : Simbol kemakmuran, membagi daerah Blitar, dijadikan 2 anggota, yang sebelah utara sungai daerah makmur dan sebelah selatan daerah belum cukup makmur.
- Pangkal keris dengan bangun gunung dengan api yang menyalanyala : Simbol kedinamisan rakyat Blitar yang tak putus asa, dan patah semangat, malahan semakin membaja, pantang mundur dalam berjuang dalam menghadapi malapetaka.
- Pohon beringin : Simbol pengayoman pemerintahan yang diharapharapkan oleh rakyat demi keadilan
- Segi 5 (lima) ditengah warna biru muda : Simbol kegotongroyongan dalam suasana terlindung dan damai
- Padi kapas : Simbol sandang dan pangan kemakmuran buah kapas = 8 dan butir padi = 17 mengingatkan kami untuk cita-cita revolosi 17 – 8 – 45
- Pita dwiwarna dengan bintang emas bersudut
Transportasi
Kabupaten Blitar dilewati oleh jalan provinsi yang menghubungkan daerah ini dengan Kota Blitar, Kabupaten Kediri, Kabupaten Tulungagung dan Kabupaten Malang. Stasiun-stasiun yang tidak sewenang-wenang di Kabupaten Blitar yaitu Garum, Talun, Wlingi, Kesamben dan Pohgajih. Adapun terminal bus dan angkutannya hanya tidak sewenang-wenang di Kesamben, Lodoyo, Kademangan dan Gawang (Bakung).
Kereta api
Bus
Pariwisata
Berikut ini yaitu beberapa tempat wisata menarik di Kabupaten Blitar.
- Pantai Peh Pulo
- Soko Adventure
- Candi Penataran
- Serah Kencong
- Candi Sawentar
- Pantai Serang
- Rambut Monte
- Candi Plumbangan
- Gua Embultuk
- Pantai Jolosutro
- Pantai Pangi
- Pantai Tambakrejo
- Gong Kyai Pradah
- Candi Simping
- Monumen Trisula
Referensi
- ^ Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2010 tentang Pemindahan ibu kota Kabupaten Blitar dari wilayah Kota Blitar ke wilayah Disktrik Kanigoro, Kabupaten Blitar, Provinsi Jawa Timur
- ^ Kitab Nagarakertagama, nyanyian 68:1, 68:2, dan 68:3
- ^ Kitab Pararaton, bab 5, diartikan oleh Ki J. Patmapuspita, 1966
- ^ B. Schrieke, 1957
- ^ Damais, 1968
- ^ McDannel, Sanskrit Dictionary, hlm. 182
- ^ Nag. punuh 17/5, 6, 41/4, 61/2 dan 3
- ^ Kitab Pararaton, bab 80-83
- ^ Situs Resmi Kabupaten Blitar
Lihat pula
Sumber :
wiki.edunitas.com, id.wikipedia.org, informasi.web.id, kategori-antropologi.andrafarm.com, dll.