Kabupaten Blitar yaitu salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Timur, Indonesia. Pusat pemerintahan kabupaten ini tidak kekurangan di Kota Kanigoro setelah sebelumnya satu wilayah dengan Kota Blitar.[1]
Geografi
Batas wilayah
Kondisi tanah
Gunung Kelud (1.731 m. dpl.) yaitu salah satu gunung api strato yang masih giat di Pulau Jawa yang terletak di anggota utara kabupaten ini berbatasan langsung dengan Kabupaten Kediri. Anggota selatan Kabupaten Blitar yang dipisahkan oleh Sungai Brantas dikenal sebagai penghasil kaolin dan dilewati oleh Pegunungan Kapur Selatan. Pantai yang terkenal ditengahnya Pantai Tambakrejo, Serang dan Jalasutra.
Blitar, patut kota maupun kabupaten, terletak di kaki Gunung Kelud, Jawa Timur. Daerah Blitar selalu terkena lahar Gunung Kelud yang sudah meletus puluhan kali termasuk dalam hitungan sejak tahun 1331. Lapisan-lapisan tanah vulkanik yang banyak ditemukan di Blitar pada hakikatnya merupakan hasil pembekuan lahar Gunung Kelud yang telah meletus secara berkala sejak bertahun-tahun yang kemudian.
Kondisi tanah di daerah Blitar yang biasanya berupa tanah vulkanik, mengandung sisa dari pembakaran letusan gunung berapi, pasir dan napal (batu kapur yang tercampur tanah liat). Tanah tersebut biasanya berwarna abu-abu kekuningan, bersifat masam, gembur dan peka terhadap erosi. Tanah semacam itu dinamakan regosol yang bisa dimanfaatkan untuk menanam padi, tebu, tembakau dan sayur mayur. Selain hijaunya persawahan yang sekarang mendominasi pemandangan alam di daerah Kabupaten Blitar, ditanam pula tanaman tembakau di daerah ini. Tembakau ini mulai ditanam sejak Belanda berhasil menduduki daerah ini anggar-anggar zaman ke-17. Bahkan kemajuan ekonomi Blitar pernah ditentukan dengan keberhasilan atau kegagalan produksi tembakau.
Sungai Brantas yang mengalir dari timur ke barat membagi Kabupaten Blitar dijadikan dua, yaitu anggota utara dan selatan. Anggota selatan Kabupaten Blitar (sering dinamakan Blitar Selatan) biasanya tanahnya berjenis grumusol. Tanah semacam ini hanya produktif bila dimanfaatkan untuk menanam ketela pohon, jagung dan jati.
Sungai Brantas
Sungai Brantas merupakan sungai terpanjang kedua di Jawa Timur setelah Bengawan Solo (sebagian mengalir di wilayah Jawa Tengah). Sungai ini memegang peranan penting dalam sejarah politik maupun sosial Provinsi Jawa Timur. Sungai yang berhulu di Gunung Arjuno ini turut membawa unsur-unsur utama dari dataran tinggi aluvial di Malang yang bersifat masam sehingga memproduksi unsur garam yang berjasa untuk kesuburan tanah.
Di Kabupaten Blitar, aliran air Sungai Brantas diberi tambahan unsur utama sehingga mengakibatkan daerah dataran rendah aluvial yang dilewati Sungai Brantas, seperti Tulungagung dan Kediri, mempunyai tanah yang subur.Di Blitar juga masa ini terdapat dua waduk/bendungan yakni Wlingi Raya dan Selorejo.
Sejarah
Asal nama
Nama Blitar dipercaya berasal dari frase bali dadi latar (kembali sah halaman). Ucap tersebut diteriakkan oleh Prabu Mahesa Sura masa meregang nyawa di sumur yang dibuatnya sendiri sebagai mahar untuk Dewi Kilaswara.
Masa kerajaan
Tiga daerah subur, yaitu Malang, Kediri dan Mojokerto, seolah-olah "diciptakan" oleh Sungai Brantas sebagai pusat posisi suatu pemerintahan, berdasarkan dengan teori natural seats of power yang dicetuskan oleh berbakat geopolitik, Sir Halford Mackinder, pada tahun 1919. Teori tersebut memang berlaku demikianlah keadaanya karena kerajaan-kerajaan besar bangunan di Jawa Timur, seperti Kerajaan Kediri, Kerajaan Singosari dan Kerajaan Majapahit, semuanya beribukota di tidak jauh daerah aliran Sungai Brantas.
Jika masa ini Kediri dan Malang bisa dicapai melewati tiga jalan utama, yaitu melewati Mojosari, Ngantang, atau Blitar, karenanya tidak demikian dengan masa kemudian. Dahulu orang hanya mau memakai jalur melewati Mojosari atau Blitar jika ingin bepergian ke Kediri atau Malang. Hal ini diakibatkan karena masa itu, jalur yang melewati Ngantang masih terlewat berbahaya untuk ditempuh, seperti yang pernah dikemukakan oleh J.K.J de Jonge dan M.L. van de Venter pada tahun 1909.
Jalur utara yang melintasi Mojosari sebenarnya masa itu juga masih sulit dilewati memikirkan banyaknya daerah rawa di anggar-anggar muara Sungai Porong. Di lokasi itu pula, Laskar Jayakatwang yang telah susah payah mengejar Raden Wijaya pada tahun 1292 gagal menangkapnya karena ajang yang terlewat sulit. Oleh karena itulah, jalur yang melintasi Blitar bertambah disukai orang karena bertambah gampang dan terlindung untuk ditempuh, didukung oleh kondisi alamnya yang cukup landai.
Pada zaman dahulu (namun masih bertahan hingga sekarang), daerah Blitar merupakan daerah pelintasan selang Dhoho (Kediri) dengan Tumapel (Malang) yang paling cepat dan gampang. Di sinilah peranan penting yang dimiliki Blitar, yaitu daerah yang menduduki jalur transportasi selang dua daerah yang saling berkompetisi (Panjalu dan Jenggala serta Dhoho dan Singosari). Banyaknya prasasti yang ditemukan di daerah ini (kira-kira 21 prasasti) dapat dikaitkan dengan alasan tersebut.
Kitab Negarakertagama
Pendapat yang menyebut bahwa Kabupaten Blitar merupakan daerah perbatasan selang Dhoho dengan Tumapel bisa disimpulkan dari salah satu cerita dalam Kitab Negarakertagama karya Empu Prapanca. Diistilahkan dalam kitab tersebut bahwa Raja Airlangga meminta Empu Bharada untuk membagi Kerajaan Kediri dijadikan dua, yaitu Panjalu dan Jenggala. Empu Bharada menyanggupinya dan menerapkan titah tersebut dengan programa menuangkan air kendi dari ketinggian.[2] Air tersebut konon berubah dijadikan sungai yang memisahkan Kerajaan Panjalu dan Kerajaan Jenggala. Posisi dan nama sungai ini belum diketahui dengan pasti sampai sekarang, tetapi beberapa berbakat sejarah berpendapat bahwa sungai tersebut yaitu Sungai Lekso (masyarakat anggar-anggar menyebutnya Kali Lekso). Pendapat tersebut didasarkan atas landasan etimologis tentang nama sungai yang diistilahkan dalam Kitab Pararaton.
Kitab Pararaton
Diceritakan dalam Kitab Pararaton bahwa balatentara Daha yang dipandu oleh Raja Jayakatwang berniat menyerang pasukan Kerajaan Singosari yang dipandu oleh Raja Kertanegara melewati jalur utara (Mojosari). Adapun yang bergerak melewati jalur selatan diistilahkan dalam Kitab Pararaton dengan ucapan saking pinggir Aksa anuju in Lawor... anjugjugring Singosari pisan yang berarti dari tepi Aksa menuju Lawor... langsung menuju Singosari.[3] Nama atau ucap Aksa yang timbul dalam ucapan tersebut dianggarkan merupakan kependekan dari Kali Aksa yang akhir-akhirnya sedikit berubah nama dijadikan Kali Lekso. Pendapat ini diperkuat lagi dengan peta buatan zaman ke-17 (digambar ulang oleh De Jonge) yang menyebut bahwa ...di sebelah timur sungai ini (Sungai Lekso) yaitu wilayah Malang dan di sebelah baratnya yaitu wilayah Blitar.[4]
Candi
Oleh karena posisinya yang strategis, Blitar penting berarti untuk programa keagamaan, terutama Hindu, pada masa kemudian. Bertambah dari 12 candi tersebar di seantero Blitar. Adapun candi yang paling terkenal di daerah ini yaitu Candi Penataran yang terletak di Kelurahan Penataran, Disktrik Nglegok. Menurut riwayatnya, Candi Penataran dahulu merupakan candi negara atau candi utama kerajaan. Pembangunan Candi Penataran dimulai ketika Raja Kertajaya mempersembahkan sima untuk memuja sira paduka bhatara palah yang berangka tahun Saka 1119 (1197 Masehi).
Nama Penataran ini kemungkinan besar bukan nama candinya, melainkan nama statusnya sebagai candi utama kerajaan. Candi-candi pusat semacam ini di Bali juga dinamakan dengan penataran, misalnya Pura Panataransasih. Menurut seorang berbakat, ucap natar berarti pusat, sehingga Candi Penataran di sini bisa diartikan sebagai candi pusat. Selengkapnya, silakan lihat laman Candi Penataran.
Di sebelah timur Candi Penataran terdapat Candi Plumbangan yang berlokasi di Disktrik Doko yang oleh penghuni satu tempat juga dijadikan sebagai objek wisata.
Hari sah
Salah satu sumber sejarah yang paling penting yaitu prasasti karena merupakan dokumen tertulis yang asli dan lepas dari bahaya kebenarannya.[5] Prasasti bisa diartikan sebagai tulisan dalam kentara puisi yang berupa pujian.[6]
Enam zaman yang kemudian, tepatnya pada bulan Waisaka tahun Saka 1283 atau 1361 Masehi, Raja Majapahit yang bernama Hayam Wuruk beserta para pengiringnya menyempatkan diri singgah di Blitar untuk mengadakan upacara pemujaan di Candi Penataran. Rombongan itu tidak hanya singgah di Candi Penataran, tetapi juga ke tempat-tempat pautan yang diasumsikan suci, yaitu Sawentar (Lwangwentar) di Kanigoro, Jimbe, Lodoyo, Simping (Sumberjati) di Kademangan dan Mleri (Weleri) di Srengat.
Hayam Wuruk tidak hanya sekali singgah di Blitar. Pada tahun 1357 Masehi (1279 Saka) Hayam Wuruk berkunjung balik ke Blitar untuk meninjau daerah pantai selatan dan menginap selama beberapa hari di Lodoyo.[7] Hal itu mencerminkan betapa pentingnya daerah Blitar kala itu, sehingga Hayam Wuruk pun tidak segan untuk menerapkan dua kali kunjungan istimewa dengan tujuan yang berbedaan ke daerah ini.
Pada tahun 1316 dan 1317 Kerajaan Majapahit carut marut karena terjadi pemberontakan yang dipandu oleh Kuti dan Sengkuni. Kondisi itu memaksa Raja Jayanegara untuk menyelamatkan diri ke kelurahan Bedander dengan pengawalan pasukan Bhayangkara dibawah pimpinan Gajah Mada. Berkat siasat Gajah Mada, Jayanegara berhasil balik naik tahta dengan selamat. Adapun Kuti dan Sengkuni berhasil diringkus dan kemudian dihukum mati.[8] Oleh karena sambutan hangat dan pengamanan sempit yang disampaikan rakyat Kelurahan Bedander, karenanya Jayanegara pun memberikan hadiah berupa prasasti untuk para rakyat kelurahan tersebut. Tidak diragukan lagi bahwa pemberian prasasti ini merupakan peristiwa penting karena menjadikan Blitar sebagai daerah swatantra di bawah naungan Kerajaan Majapahit. Peristiwa bersejarah tersebut terjadi pada hari Ahad Pahing bulan Srawana tahun Saka 1246 atau 5 Agustus 1324 Masehi, berdasarkan dengan tanggal yang tercantum pada prasasti. Tanggal itulah yang akhir-akhirnya diperingati sebagai hari sah Kabupaten Blitar setiap tahunnya.
Guna simbol
Simbol Daerah Kabupaten Blitar terdiri dari 9 (sembilan) anggota dengan kentara, jenis dan rumusannya sebagai berikut:[9]
- Kentara seluruhnya merupakan segi lima : Simbol Pancasila.
- Candi penataran : Warisan Majapahit sebagai simbol kebudayaan yang mulia.
- Keris Pusaka : Simbol semangat dan jiwa kepahlawanan rakyat Blitar, sejak masa dahulu hingga sekarang.
- Sungai brantas dengan warna biru diatas landasan warna hijau dan kuning : Simbol kemakmuran, membagi daerah Blitar, dijadikan 2 anggota, yang sebelah utara sungai daerah makmur dan sebelah selatan daerah kurang makmur.
- Pangkal keris dengan kentara gunung dengan api yang menyalanyala : Simbol kedinamisan rakyat Blitar yang tak putus asa, dan patah semangat, malahan semakin membaja, pantang mundur dalam berjuang dalam menghadapi malapetaka.
- Pohon beringin : Simbol pengayoman pemerintahan yang diharapharapkan oleh rakyat demi keadilan
- Segi 5 (lima) ditengah warna biru muda : Simbol kegotongroyongan dalam suasana terlindung dan damai
- Padi kapas : Simbol sandang dan pangan kemakmuran buah kapas = 8 dan butir padi = 17 mengingatkan kita untuk cita-cita revolosi 17 – 8 – 45
- Pita dwiwarna dengan bintang emas bersudut
Transportasi
Kabupaten Blitar dilewati oleh jalan provinsi yang menghubungkan daerah ini dengan Kota Blitar, Kabupaten Kediri, Kabupaten Tulungagung dan Kabupaten Malang. Stasiun-stasiun yang tidak kekurangan di Kabupaten Blitar yaitu Garum, Talun, Wlingi, Kesamben dan Pohgajih. Adapun terminal bus dan angkutannya hanya benar di Kesamben, Lodoyo, Kademangan dan Gawang (Bakung).
Kereta api
Bus
Pariwisata
Berikut ini yaitu beberapa tempat wisata menarik di Kabupaten Blitar.
- Pantai Peh Pulo
- Soko Adventure
- Candi Penataran
- Serah Kencong
- Candi Sawentar
- Pantai Serang
- Rambut Monte
- Candi Plumbangan
- Gua Embultuk
- Pantai Jolosutro
- Pantai Pangi
- Pantai Tambakrejo
- Gong Kyai Pradah
- Candi Simping
- Monumen Trisula
Sumber referensi
- ^ Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2010 tentang Penggantian ibu kota Kabupaten Blitar dari wilayah Kota Blitar ke wilayah Disktrik Kanigoro, Kabupaten Blitar, Provinsi Jawa Timur
- ^ Kitab Nagarakertagama, nyanyian 68:1, 68:2, dan 68:3
- ^ Kitab Pararaton, bab 5, diartikan oleh Ki J. Patmapuspita, 1966
- ^ B. Schrieke, 1957
- ^ Damais, 1968
- ^ McDannel, Sanskrit Dictionary, hlm. 182
- ^ Nag. punuh 17/5, 6, 41/4, 61/2 dan 3
- ^ Kitab Pararaton, bab 80-83
- ^ Situs Resmi Kabupaten Blitar
Lihat pula
Sumber :
andrafarm.com, kategori-antropologi.gilland-group.com, wiki.edunitas.com, id.wikipedia.org, dsb-nya.