Tanah Grogot adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Paser, Kalimantan Timur, Indonesia. Tanah Grogot merupakan ibukota dari kabupaten Paser.
Sejarah
Asal-usul nama Tanah Grogot
![](https://kategori-antropologi.pts-ptn.net/_sepakbola/_baca_image.php?td=6&kodegb=220px-Masjid_Agung_Nurul_Falah_Paser.jpg)
Masjid Luhur Nurul Falah
Asal-usul nama Kota Tanah Grogot[1] berdasarkan tuturan setempat tidak dapat dimerdekakan dari peristiwa sejarah di Sulawesi Selatan. Menurut Lontara Wajo dikisahkan ketika Raja Bone La Patau Matanna Tika mengundang Arung Matoa Wajo La Salewangeng untuk menghadiri pesta melubangi telinga putrinya. Bersamaan dengan itu ikut pula La Madukelleng. Sebagaimana budaya bahwa sudah menjadi kegemaran bangsawan Bugis dalam setiap pesta raja-raja pada masa dahulu sering menyelenggarakan pesta sabung ayam.
Pada pelaksanaan sabung ayam tersebut terjadi ketidakadilan dalam penyelenggaraan perkara, saat ayam putera Raja Bone mati dikalahkan oleh ayam Arung Matowa Wajo. Kemenangan itu tidak diakui oleh orang Bone dan mereka berpendapat bahwa pertarungan tersebut sama kuatnya. Hal ini menyebabkan terjadinya keributan dan berujung pada perkelahian yang mengakibatkan korban di pihak Bone bertambah banyak dibandingkan korban di pihak Wajo. Dengan keadaan perkelahian tersebut Raja Bone menuntut kepada Wajo supaya La Madukelleng menyerahkan diri untuk mempertanggungjawabkan atas afalnya yang dianggap salah. Akan tetapi orang Wajo tidak bersedia memenuhi permintaan Raja Bone. Sebelum Kerajaan Wajo ditempati pasukan Bone, karena tidak mau dijajah La Maddukeleng beserta para pengikutnya merantau meninggalkan Wajo untuk menghindari balas dendam yang akan dilangsungkan oleh Kerajaan Bone.
La Madukelleng dalam perantauannya dengan bermodalkan tiga ujung; ujung lidah sebagai bekal diplomasi, ujung badik untuk bertarung, dan ujung kelamin melintas perkawinan. Ia malang melintang di negeri orang mengukir kejayaan orang Bugis secara turun menurun. Dengan modal tersebut La Maddukeleng beserta para pengikutnya dan delapan orang bangsawan pertengahan, yaitu La Mohang Daeng Mangkona, La Pallawa Daeng Marowa, Puanna Dekke, La Siareje, Daeng Manambung, La Manja Daeng Lebbi, La Sawedi Daeng Sagala, dan La Manrappi Daeng Punggawa beranjak dari Paneki, dan pada awalnya menetap di Tanah Malaka (Malaysia Barat). Akhir pindah dan menetap di wilayah Kerajaan Paser tepatnya di Muara Sungai Kandilo selama sepuluh tahun, sebelum lagi ke Wajo dan diangkatkan menjadi Raja di Kerajaan Wajo.
Namun, sehabis rombongan tersebut menetap di tempat tersebut, jauh di tanah Sulawesi Selatan berhubung tanah Wajo telah ditempati oleh Kerajaan Bone, banyak pula warga Wajo yang meninggalkan kelurahan kelahirannya mengikuti jejak rombongan La Madukelleng untuk berlayar menuju tanah Paser, sementara sebagian rombongan yang diberi segala sesuatu yang diajarkan La Mohang Daeng Mangkona menuju ke tanah Kutai dan membentuk pemukiman yang menjadi cikal bakal berdirinya Kota Samarinda. Dengan keadaan peristiwa tersebut banyak pula orang Bugis yang pada awalnya berasal dari Wajo, saat itu bermukim dan terlibat dalam perdagangan di lebih kurang Sungai Kandilo.
Dalam keseharian rombongan orang Bugis-Wajo yang bermukim di pinggiran Sungai Kandilo sering mendengar suara arus yang sangat deras dari arus sungai yang menimbulkan suara gemuruh. Dari keadaan itulah orang Bugis-Wajo menamakan pemukiman mereka dengan sebutan Tanah Geroro-E (Geroro-E : suara gemuruh). Dari istilah inilah para Sultan Kerajaan Paser pada saat itu akhir sering mengata dengan Tanah Geroro-E yang lama kelamaan diperkirakan menjadi cikal bakal sebutan Kota Tanah Grogot.
Selanjutnya ketika di Kota Tanah Grogot sudah banyak orang Bugis yang bermukim di sepanjang Sungai Kandilo, datang pula utusan Belanda yang tertarik untuk menyelenggarakan usaha perdagangan di Kota Tanah Grogot lebih kurang tahun 1829 M. Hal ini dikarenakan kondisi perniagaan Paser pada saat itu sudah cukup ramai dan strategis. Pedagang Belanda yang bernama Alexander Van Soow mengajukan permohonan langsung pada Sultan Kerajaan Paser untuk menanti izin membangun sebuah rumah sebagai tempat usaha untuk menjual garam dan candu. Dalam permohonannya tersebut berhubung lidah orang Belanda tidak bisa mengata Tanah Geroro-E maka pada terakhirnya disebut Tanah Grogod.
Oleh karena itu, dapat dipercakapkan bahwa sebutan Tanah Grogod tersebut lama kelamaan ejaannya disempurnakan menjadi Tanah Grogot. Dengan berjalannya waktu karena kondisi Kota Tanah Grogot semakin ramai sehabis dihuni oleh orang Bugis, selanjutnya datang juga orang Banjar, Jawa, dan sebagainya yang menyebabkan penghuni Kota Tanah Grogot semakin banyak. Penghuni tersebut bertambah dominan berasal dari Bugis dan Banjar, sehingga kebudayaan mereka cepat membaur dengan penghuni asli Suku Paser. Maka dari itu tidak mengherankan bahwa pada saat ini dapat dijumpai perpaduan budaya pada orang Paser di Kota Tanah Grogot. Seiring berjalannya waktu dan semakin banyaknya penghuni yang datang hingga Kota Tanah Grogot terus berkembang pesat. Pada terakhirnya berdasarkan Undang-undang Nomor 27 tahun 1959 pada tanggal 29 Desember 1959, Kota Tanah Grogot diresmikan sebagai ibukota Kabupaten Paser.
Pembagian administratif
- Kelurahan Tanah Grogot
- Udik Janju
- Udik Sempulang
- Udik Tepian Batang
- Udik Tanah Periuk
- Udik Pepara
- Udik Sungai Tuak
- Udik Rantau Panjang
- Udik Jone
- Udik Padang Pengrapat
- Udik Muara Pasir
- Udik Sungai Langir
- Udik Perepat
- Udik Pulau Rantau
Sumber rujukan
- ^ Sejarah Kota Tanah Grogot, diakses 24 Januari 2010
Galeri
Sumber :
kategori-antropologi.kurikulum.org, wiki.edunitas.com, id.wikipedia.org, sepakbola.biz, dsb.