Asoka

Maharaja Asoka

Asoka yang Besar (juga Ashoka, Aśoka, dilafazkan sebagai Asyoka) yaitu penguasa Kekaisaran Maurya dari 273 SM sampai 232 SM. Seorang pengikut agama Buddha, Asoka menguasai beberapa akbar anak benua India, dari apa yang sekarang dinamakan Afganistan sampai Bangladesh dan di selatan sampai sejauh Mysore.

Nama "Asoka" berarti 'tanpa duka' dalam bahasa Sanskerta (a – tanpa, soka – duka). Asoka yaitu pemimpin pertama Bharata (India) Kuno, setelah para pemimpin Mahabharata yang terkenal, yang menyatukan wilayah yang sangat lapang ini di bawah kekaisarannya, yang bahkan melampaui batas-batas wilayah kedaulatan negara India dewasa ini.

Sang penulis Britania H. G. Wells menulis perihal Asoka: "Dalam sejarah alam, hadir ribuan raja dan kaisar yang menyebut diri mereka sendiri ‘Yang Agung’, ‘Yang Mulia’ dan ‘Yang Sangat Mulia’ dan sebagainya. Mereka bersinar selama suatu waktu singkat, dan kemudian cepat menghilang. Tetapi Asoka tetap bersinar dan bersinar cemerlang seperti sebuah bintang cemerlang bahkan sampai hari ini" (Aslinya dalam bahasa Inggris: "In the history of the world there have been thousands of kings and emperors who called themselves 'Their Highnesses', 'Their Majesties' and 'Their Exalted Majesties' and so on. They shone for a brief moment, and as quickly disappeared. But Ashoka shines and shines brightly like a bright star, even unto this day").

Kehidupan awal

Asoka yaitu putra maharaja Maurya, maharaja Bindusara dari seorang selir yang pangkatnya persangkaan rendah dan bernama Dharma. Asoka memiliki beberapa kakak dan hanya satu adinda, Witthasoka. Karena kepandaian yang meneladani dan kemampuannya berperang, ia dituturkan yaitu cucu kesayangan kakeknya, maharaja Candragupta Maurya. Karenanya seperti diceritakan dalam bentuk legenda, ketika Candragupta Maurya membiarkan bebas kerajaannya untuk hidup sebagai seorang Jain, ia membuang pedangnya. Asoka menemukan pedangnya dan menyimpannya.

Jalan menuju kekuasaan

Karenanya sementara ia mengembang menjadi seorang prajurit ulung yang sempurna dan seorang negarawan lihai, Asoka memimpin beberapa regimen tentara Maurya. Popularitasnya yang naik di seluruh wilayah kekaisaran membuat kakak-kakaknya menjadi cemburu karena mereka cemas ia mampu ditunjuk Bindusara menjadi maharaja kemudian. Kakaknya yang tertua, pangeran Susima, putra mahkota pertama, membujuk Bindusara untuk mengirim Asoka mengatasi sebuah pemberontakan di kota Taxila, di provinsi barat laut Sindhu, di mana pangeran Susima yaitu gubernurnya. Taxila yaitu sebuah daerah yang bergejolak karena masyarakatnya yaitu sukubangsa Yunani-India yang suka berperang dan juga karena pemerintahan kakaknya, pangeran Susima kacau. Oleh karenanya dalam daerah ini banyak terbentuk milisi-milisi yang mengacau keamanan. Asoka sepakat dan bertolak ke daerah yang baru saja dilanda huru-hara. Karenanya ketika berita bahwa Asoka hendak datang menjenguk mereka dengan pasukannya, ia disambut dengan hormat oleh para milisi yang memberontak dan pemberontakan mampu diakhiri tanpa pertumpahan darah. (Provinsi ini di kemudian hari memberontak lagi ketika Asoka memerintah, tetapi kemudian ditumpas dengan tangan besi).

Keberhasilan Asoka membuat kakak-kakaknya lebih cemas hendak tujuannya menjadi maharaja penerus, karenanya hasutan-hasutan Susima untuk Bindusara membuatnya membuang Asoka. Asoka kemudian pergi ke Kalinga dan menyembunyikan jatidirinya. Di sana ia berjumpa dengan seorang nelayan wanita bernama Karubaki, dan ia jatuh cinta. Prasasti-prasasti yang baru ditemukan menunjukkan bahwa ia nantinya menjadi permaisuri selirnya yang kedua atau ketiga.

Sementara itu, hadir sebuah pemberontakan lagi, kali ini di Ujjayani (Ujjain). Maharaja Bindusara mengundang Asoka pulang setelah dibuang selama dua tahun. Asoka pergi ke Ujjayani dan pada pertempuran di sana terluka, tetapi para hulubalangnya sukses menumpas pemberontakan. Asoka kemudian diobati dengan cara diam-diam sehingga para peserta setia pangeran Susima tidak mampu melukainya. Ia diurusi oleh para bhiksu dan bhiksuni gemar sekali terhadap benda sangat memuja-muja Buddha. Di sinilah ia pertama kalinya bergaul dengan nasihat Buddha, dan di sini pula ia berjumpa dengan Dewi, yang yaitu perawat pribadinya dan putri seorang saudagar bernama Widisha. Karenanya setelah pulih, ia menikahinya. Hal ini tidak mampu diterima oleh Bindusara bahwa salah seorang putranya menikah dengan seorang pengikut Buddha, karenanya beliau tidak memperbolehkannya tinggal di Pataliputra, tetapi mengirimnya pulang ke Ujjayani dan membuat menjadi seorang gubernur.

Tahun kemudian berlanjut cukup tenang untuknya dan Dewi hendak melahirkan putranya yang pertama. Sementara itu maharaja Bindusara mangkat. Sementara berita putra mahkota yang belum lahir menyebar, Pangeran Susima beragak-agak untuk membunuhnya; tetapi si pembunuh justru membunuh ibunya. Menurut legenda, dalam kondisi murka, pangeran Asoka menyerang Pataliputra (sekarang Patna), dan memenggal kepala kakak-kakaknya semua termasuk Susima, dan membuangnya di sebuah sumur di Pataliputra. Pada masa tersebut banyak orang yang menyebutnya Canda Asoka yang berarti yaitu Asoka si pembunuh dan tak kenal kasih.

Sementara Asoka naik takhta, ia memperluas wilayah kekaisarannya dalam kurun waktu delapan tahun kemudian dari perbatasan daerah yang sekarang dinamakan Bangladesh dan Assam di India di timur sampai daerah-daerah di Iran dan Afganistan di barat; dari Palmir Knots sampai hampir di ujung jazirah India di sebelah selatan India.

Ashokan empire.gif

Penaklukkan Kalingga

Sementara tahap-tahap awal kepemimpinan Asoka terbukti cukup haus darah, ia kemudian menjadi peserta nasihat Buddha setelah menaklukkan Kalingga, daerah yang sekarang yaitu negeri bagian India Orissa. Kalingga yaitu sebuah negeri yang bangga hendak kemerdekaan dan demokrasinya; dengan demokrasi monarki dan parlementernya, negeri ini mampu dituturkan sebuah pengecualian di Bharata Kuna, karena di sana hadir konsep Rajadharma, yang berarti kewajiban para pemimpin, yang dengan cara landasan bersatu-padu dengan konsep keberanian dan Ksatriyadharma.

Asal mula Perang Kalingga (265 SM atau 263 SM) tidak jelas. Salah satu saudara Susima probabilitas melarikan diri ke Kalingga dan mendapat suaka dengan cara resmi di sana. Hal ini sangat membuat murka Asoka. Ia diberi saran oleh para menterinya menyerang Kalingga untuk tindakan pengkhianatan ini. Asoka kemudian berharap Kalingga untuk tunduk untuk kekuasaannya. Ketika mereka menyorongkan diktatnya, Asoka mengirimkan salah seorang panglima perangnya supaya mereka tunduk.

Sang panglima perang dan pasukannya kalah dan melarikan diri berkat kepandaian panglima perang Kalingga. Asoka yang tercengang hendak kekalahan ini, menyerang dengan sebuah pasukan terbesar yang belum sudah menjalani hadir dalam sejarah India sampai masa itu. Kalingga memerangi dengan sengit tetapi mereka bukan padanan pasukan perang Asoka yang sangat kuat. Seluruh wilayah Kalingga dijarah dan dihancurkan: piagam-piagam Asoka di kemudian hari menyebutkan bahwa di sisi Kalingga belum cukup lebih 100.000 jiwa tewas sedangkan jumlah prajurit Asoka yang tewas belum cukup lebih 10.000. Ribuan pria dan wanita dibuang pula.

Asoka turut Buddha

Menurut cerita legenda, satu hari setelah peperangan bubar, Asoka menjelajah kota dan yang mampu ditonton hanyalah rumah-rumah yang terbakar dan mayat-mayat yang bergelimpangan di mana-mana. Hal ini membuatnya muak dan ia berteriak dengan kata-kata yang menjadi termasyhur: "Apakah yang telah kuperbuat?" Kekejian penaklukan ini akhir-akhirnya membuatnya memeluk agama Buddha dan ia memakai posisinya untuk mempromosikan falsafah yang sedang relatif baru ini sampai dikenal di mana-mana, sejauh Roma dan Mesir. Sejak masa itu Asoka, yang ketika belumnya dikenal sebagai “Asoka yang kejam” (Canda Asoka) mulai dikenal sebagai sang “Asoka yang Saleh” (Dharmâsoka).


Ia lewat mempromosikan aliran Buddha Wibhajyawada dan menyebarkannnya di dalam wilayahnya dan di seluruh alam yang dikenal mulai dari 250 SM. Maharaja Asoka mampu dituturkan yaitu yang pertama dengan serius mempersiapkan pembentukan satuan politik Buddha.

Dalam usahanya ini, ia ditolong oleh putranya Mahinda yang luhur dan putrinya Sanghamitta (yang berarti “mitra Sangha”) dan yang membawa agama Buddha ke Sri Lanka. Asoka membangun ribuan stupa dan vihara bagi pengikut Buddha. Stupa-stupa di Sanchi sangat terkenal dan stupa bernama Sanchi Stupa I didirikan oleh Maharaja Asoka. Selama sisa masa pemerintahannya, ia menganut kebijakan resmi anti-kekerasan ahingsa. Bahkan penyembelihan dan penyiksaan sia-sia terhadap binatang pun dilarang. Margasatwa dilindungi dengan undang-undang sang maharaja yang melarang pemburuan untuk gerak badan dan pengisian waktu luang. Pemburuan dengan cara terbatas diperbolehkan untuk tujuan kebutuhan hidup tetapi Asoka juga mempromosikan konsep vegetarianisme. Asoka juga menaruh belas kasihan untuk para narapidana di penjara. Mereka diperbolehkan mengambil cuti, sehari dalam waktu setahun. Ia berusaja meningkatkan ambisi profesional warga negara jelata dengan membangun pusat-pusat studi yang mungkin mampu dinamakan universitas. Ia juga mengupayakan system irigasi bagi pertanian. Warga negaranya diperlakukan dengan cara pas, apapun derajat, agama, haluan politik, ras, sukubangsa dan kasta mereka. Kerajaan-kerajaan di sekitar wilayahnya yang sebenarnya sepele ditaklukkan ia buat sebagai sekutu yang terhormat.

Asoka juga dipercayai membangun rumah-sakit untuk binatang dan merenovasi jalan-jalan utama yang menghubungkan daerah-daerah di India. Setelah perubahan dirinya, Asoka dikenal sebagai Dhammashoka (bahasa Pali), berarti Asoka, pengikut Dhamma, atau Asoka yang Soleh. Bentuknya dalam bahasa Sanskerta yaitu Dharmâsoka. Asoka kemudian mendefiniskan prinsip-prinsip landasan dharma (dhamma) sebagai tindakan anti-kekerasan, toleransi terhadap semua sekte atau aliran agama, dan segala pendapat, mematuhii orang tua, menghormati para Brahmana, guru-guru agama dan pandita, baik hati terhadap kawan, perlakuan manusiawi terahadap para pembantu, dan murah hati terhadap semua orang. Prinsip-prinsip ini menyinggung haluan umum etika berkelakuan terhadap sesama di mana tidak hadir kumpulan agama atau sosial yang mampu menentang.

AshokaColumn.jpg

Beberapa pengkritik perpendapat bahwa Asoka takut hendak keadaan lebih banyak peperangan. Tetapi sebenarnya negara-negara tetangganya, termasuk kekaisaran Seleukus dan kerajaan-kerajaan Baktria-Yunani yang dibangun oleh Diodotus I, tidak hadir yang mampu menyamai kekuatan Asoka. Asoka hidup pada masa yang pas dengan Antiochus I Soter dan penerusnya Antiochus II Theos dari dinasti Seleukus seperti begitu pula Diodotus I dan putranya Diodotus II dari kerajaan Baktria-Yunani. Bila prasasti-prasasti dan piagam-piagamnya ditelaah dengan teliti, karenanya mampu disimpulkan bahwa ia mengenal Alam Helenistik tetapi tidak sudah menjalani kagum. Piagam-piagamnya yang membicarakan hubungan perkenalan, memberikan Antiochus dari kekaisaran Seleukus dan Ptolemeus III dari Mesir. Tetapi kemasyhuran kekaisaran Maurya sudah tersebar semenjak kakek Asoka, Candragupta Maurya mengalahkan Seleucus Nicator, pendiri dinasti Seleukus.

Sumber banyak ilmu kita hendak Asoka yaitu prasasti-prasasti yang banyak dibiarkan bebasnya dan dipahatkannya di pilar-pilar dan batu-batu di seluruh wilayah kekaisarannya. Maharaja Asoka juga dikenal sebagai Piyadasi (dalam bahasa Pali) atau Priyadarsi (dalam bahasa Sanskerta) yang berarti "berparas baik" atau "dikaruniai Dewa-Dewa dengan berkah baik". Semua prasastinya memiliki sentuhan kekaisaran dan menunjukkan rasa kasih sesama yang mendalam; ia menyapa warga negaranya dengan kata "anak-anakku". Prasasti-prasasti ini mempromosikan moral berdasarkan agama Buddha dan memberi semangat pada tindakan non-kekerasan serta keteguhan dalam melaksanan Dharma (kewajiban atau tindakan yang bajik). Prasasti-prasasti ini juga membicarakan ketenarannya dan negara-negara taklukkan serta juga negara-negara tetangga yang berusaha menghancurkannya. Informasi perihal peperangan Kalinga juga mampu didapatkan dan juga perihal sekutu-sekutu Asoka. Lewat informasi mengenai pemerintahan sipil juga hadir. Pilar-pilar Asoka di Sarnath yaitu peninggalan Asoka yang paling dikenal. Mereka dibuat dari batu granit dan merekam kunjungan Asoka untuk maharaja Sarnath pada masa seratus tahun ke-3 SM. Pilar ini memiliki pucuk hadir bentuk empat kepala singa yang berdiri membelakangi satu pas berlainan. Simbol India modern yaitu keempat singa ini. Singa berlainan daripada melambangkan kekuasaan Asoka, juga melambangkan sifat kerajaan sang Buddha (singa diasumsikan raja hutan yang merajai semua margasatwa dan Buddha yaitu seorang pangeran mahkota). Dalam menerjamahkan teks-teks yang hadir pada prasasti di pilar-pilar ini, para sejarawan mampu menelaah banyak perihal Kekaisaran Maurya. Tetapi sulit apakah yang tertulis di situ ada semua atau tidak. Yang jelas ialah teks-teks ini menunjukkan untuk kita bagaimana maharaja Asoka mau dikenang.


Prasasti batu pertama Asoka di Girnar

Kata-kata Asoka sendiri seperti dikenal dari piagam-piagamnya adalah: "Semua orang yaitu anakku. Saya seperti ayah mereka. Seperti seorang ayah mengharapkan kebaikan dan kebahagian untuk anaknya, saya mau supaya semua orang selalu bahagia." Edward D'Cruz mentafsirkan dharma maharaja Ashoka sebagai "agama yang dipakai sebagai lambing dari sebuah persatuan kekaisaran dan semuah semen perekat untuk mempersatupadukan unsure-unsur heterogen dan berbeda-beda kekaisaran ini".

Lihat juga: Piagam-piagam Asoka

Kematian dan warisannya

Maharaja Asoka memerintah selama 41 tahun, dan setelah mangkatnya, dinasti Maurya sedang bertahan selama lebih dari 50 tahun. Asoka memiliki banyak selir dan anak, tetapi nama-nama mereka tidaklah dikenal. Mahinda dan Sanghamitta yaitu anak kembar yang dilahirkan istri pertamanya, Dewi di kota Ujjayini. Ia mempercayai mereka untuk menyebarkan agama Buddha di alam yang dikenal dan tak dikenal. Mahinda dan Sanghamitta pergi ke Sri Lanka dan mengisi Raja, Ratu dan warga negaranya agama Buddha. Mereka lewat berkeliling alam sampai ke Mesir alam Helenistik (Yunani). Sehingga mereka tidak mampu melakukan kewajiban pemerintahan. Beberapa arsip langka membicarakan penerus Asoka bernama Kunal, yang yaitu putra Asoka dari istri terakhirnya.

Asokaemblem.jpg

Masa kepemimpinan maharaja Asoka mampu saja sepele menghilang dalam sejarah, dengan berselangnya masa seratus tahun, bila ia tidak membiarkan bebas arsip sejarah apa-apa. Kesaksian maharaja ini ditemukan dalam bentuk pilar-pilar dan batu-batu karang akbar yang dipahati dengan cara megah menjadi prasasti. Intinya yaitu ajaran-ajaran dan tindakan-tindakan yang mau ia sebar luaskan. Berlainan daripada itu Asoka juga mewariskan kita bahasa tertulis pertama di India setelah kota kuna Harrapa. Tetapi berbeda dengan di Harrapa, teks-teks Asoka mampu kita pahami. Bahasa yang dipakai Asoka dalam menuliskan teks-teks prasastinya yaitu sebuah bentuk bahasa warga negara atau bahasa Prakerta/Prakrit dan bukan bahasa Sanskerta.


Pada tahun 185 SM, belum cukup lebih 50 tahun setelah mangkatnya Asoka, penguasa Maurya terakhir, Brhadrata, dibunuh dengan cara keji oleh panglima perang Maurya, Pusyamitra Sunga, masa ia baru saja menginspeksi pasukannya. Pusyamitra Sunga lewat membangun dinasti Sunga (185 SM-78 SM) dan hanya memerintah beberapa wilayah Kekaisaran Maurya yang telah runtuh.

Baru hampir 2.000 tahun kemudian di bawah kepemimpinan Akbar yang Besar dan cicitnya (buyutnya) Aurangzeb, sebuah bagian akbar anak benua India yang sudah menjalani diperintah Asoka, dipersatukan lagi di bawah satu kepemimpinan. Tetapi akhir-akhirnya, orang Inggris di bawah Kekaisaran Britania Indialah yang menyatukan anak benua yang terpecah-belah ini menjadi sebuah satuan politik dan merintis jalan menuju munculnya pulang negara Bharata modern yang sembari memakai simbol Asoka, diilhami oleh nasihatnya yang penuh dengan rasa kepemimpinan kuat dan rasa kasih sesama.

Didahului oleh:
Bindusara
Dinasti MauryaDiteruskan oleh:
Dasaratha
 
Di Asia
Sultan Besar  · Ramkhamhaeng · Naresuan · Narai · Taksin · Buddha Yodfa Chulaloke · Chulalongkorn · Bhumibol Adulyadej · Sejong yang Besar · Kangxi yang Besar · Asoka yang Besar · Kanishka · Mengrai · Akbar yang Besar · Yu yang Besar · Parākramabāhu I · Raja Raja Kola I · Gwanggaeto yang Besar · Anawrahta · Bayinnaung
 
Di Eropa
Konstantinus yang Besar · Alfred yang Besar · Pyotr I dari Rusia · Yekaterina II dari Rusia · Friedrich Wilhelm dari Brandenburg · Friedrich II dari Prusia · Alfonso III dari León · Henri IV dari Perancis · Herodes yang Besar · Kazimierz III dari Polandia · Karel yang Besar · Tigranes yang Besar · Ştefan III dari Moldavia · Pietro III dari Aragon · Ivan III dari Rusia · João I dari Portugal · Pompeius · Justinianus I · Knut yang Besar · Fernando I dari León dan Kastilia · Hugo yang Agung · Antiochus III yang Besar · Llywelyn yang Besar · Lajos I dari Hongaria · Louis XIV dari Perancis · Theodosius I · Guillaume V, Adipati Aquitania · Bolesław I dari Polandia · Sancho III dari Navarre · Theodoric yang Besar · Gustav II Adolf · Vytautas yang Besar · Rhodri yang Besar
 
Di Timur Tengah
dan Afrika
Ramses yang Besar · Aleksander yang Besar · Koresh yang Besar · Darius I dari Persia · Ahasyweros I dari Persia · Abbas yang Agung · Reza Shah · Mubarak Al-Sabah · Askia Mohammad I · Mithridates II dari Parthia · Nebukadnezar II dari Babilonia · Sargon dari Akkadia · Shapur II · Timur yang Besar · Umar yang Besar
 
Di Amerika



Sumber :
wiki.edunitas.com, id.wikipedia.org, ilmuwan.web.id, kategori-antropologi.andrafarm.com, dll.