Kesultanan Aceh

Kesultanan Aceh Darussalam

 

1496–1903
BenderaSimbol
Lebar Kesultanan Aceh pada saat pemerintahan Sultan Iskandar Muda, 1608-1637.
IbukotaBandar Aceh Darussalam (sekarang Banda Aceh)
(1496–1873)
Keumala
(1873-1903)
BahasaAceh, Melayu, Arab, Gayo, Alas
AgamaIslam
PemerintahanMonarki absolut
Sultan
 - 1496-1528Sultan Ali Mughayat Syah
 - 1874-1903Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah
Sejarah 
 - Penobatan sultan pertama1496
 - Menyerah1903
Mata uangKoin emas dan perak lokal
Artikel ini anggota dari seri
Sejarah Indonesia
Sejarah Indonesia.png
Lihat pula:
Garis waktu sejarah Indonesia
Sejarah Nusantara
Prasejarah
Kerajaan Hindu-Buddha
Kutai (abad ke-4)
Tarumanagara (358–669)
Kalingga (abad ke-6 sampai ke-7)
Sriwijaya (abad ke-7 sampai ke-13)
Sailendra (abad ke-8 sampai ke-9)
Kerajaan Medang (752–1006)
Kerajaan Kahuripan (1006–1045)
Kerajaan Sunda (932–1579)
Kediri (1045–1221)
Dharmasraya (abad ke-12 sampai ke-14)
Singhasari (1222–1292)
Majapahit (1293–1500)
Malayapura (abad ke-14 sampai ke-15)
Kerajaan Islam
Penyebaran Islam (1200-1600)
Kesultanan Samudera Pasai (1267-1521)
Kesultanan Ternate (1257–sekarang)
Kerajaan Pagaruyung (1500-1825)
Kesultanan Malaka (1400–1511)
Kerajaan Inderapura (1500-1792)
Kesultanan Demak (1475–1548)
Kesultanan Kalinyamat (1527–1599)
Kesultanan Aceh (1496–1903)
Kesultanan Banten (1527–1813)
Kesultanan Cirebon (1552 - 1677)
Kesultanan Mataram (1588—1681)
Kesultanan Siak (1723-1945)
Kerajaan Kristen
Kerajaan Larantuka (1600-1904)
Kolonialisme bangsa Eropa
Portugis (1512–1850)
VOC (1602-1800)
Belanda (1800–1942)
Kedatangan Indonesia
Kebangkitan Nasional (1899-1942)
Pendudukan Jepang (1942–1945)
Revolusi nasional (1945–1950)
Indonesia Merdeka
Orde Lama (1950–1959)
Demokrasi Terpimpin (1959–1965)
Saat Transisi (1965–1966)
Orde Baru (1966–1998)
Era Reformasi (1998–sekarang)

Kesultanan Aceh Darussalam merupakan sebuah kerajaan Islam yang pernah berdiri di provinsi Aceh, Indonesia. Kesultanan Aceh terletak di utara pulau Sumatera dengan ibu kota Bandar Aceh Darussalam dengan sultan pertamanya merupakan Sultan Ali Mughayat Syah yang dinobatkan pada pada Ahad, 1 Jumadil awal 913 H atau pada tanggal 8 September 1507. Dalam sejarahnya yang panjang itu (1496 - 1903), Aceh mengembangkan pola dan sistem edukasi militer, berkomitmen dalam menentang imperialisme bangsa Eropa, memiliki sistem pemerintahan yang teratur dan sistematik, mewujudkan pusat-pusat pengkajian ilmu pengetahuan, dan menjalin hubungan diplomatik dengan negara lain.[1]

Sejarah

Awal mula

Kesultanan Aceh dibangun oleh Sultan Ali Mughayat Syah pada tahun 1496. Pada awal mulanya kerajaan ini berdiri atas wilayah Kerajaan Lamuri, selanjutnya menundukan dan menyatukan beberapa wilayah kerajaan sekitarnya mencakup Daya, Pedir, Lidie, Nakur. Selanjutnya pada tahun 1524 wilayah Pasai sudah dijadikan anggota dari kedaulatan Kesultanan Aceh didatangi dengan Aru.

Pada tahun 1528, Ali Mughayat Syah digantikan oleh putera sulungnya yang bernama Salahuddin, yang selanjutnya berkuasa hingga tahun 1537. Selanjutnya Salahuddin digantikan oleh Sultan Alauddin Riayat Syah al-Kahar yang berkuasa hingga tahun 1571.[2]

Saat Kejayaan

Meskipun Sultan dianggap menjadi penguasa tertinggi, tetapi nyatanya selamanya dikendalikan oleh orangkaya atau hulubalang. Hikayat Aceh menuturkan Sultan yang diturunkan paksa selang lain Sultan Sri Dunia digulingkan pada 1579 karena perangainya yang sudah melampaui ketentuan yang tidak boleh dilampaui dalam membagi-bagikan harta kerajaan pada pengikutnya. pengantinya Sultan Zainal Abidin terbunuh beberapa bulan selanjutnya karena kekejamannya dan karena kecanduannya berburu dan adu binatang. Raja-raya dan orangkaya menawarkan mahkota kepada Alaiddin Riayat Syah Sayyid al-Mukamil dari Dinasti Darul Kamal pada 1589. Ia segera mengakhiri periode ketidak-stabilan dengan menumpas orangkaya yang berlawanan dengannya sambil memperkuat jabatannya menjadi penguasa tunggal Kesultanan Aceh yang hasilnya dirasakan pada sultan berikutnya.[3]

Kesultanan Aceh menemui saat ekspansi dan pengaruh terluas pada saat kepemimpinan Sultan Iskandar Muda (1607 - 1636) atau Sultan Meukuta Alam. Pada saat kepemimpinannya, Aceh menaklukkan Pahang yang merupakan sumber timah utama. Pada tahun 1629, kesultanan Aceh melakukan penyerangan terhadap Portugis di Melaka dengan armada yang terdiri dari 500 buah kapal perang dan 60.000 tentara laut. Serangan ini dalam upaya memperluas dominasi Aceh atas Selat Malaka dan semenanjung Melayu. Sayangnya ekspedisi ini gagal, meskipun pada tahun yang sama Aceh menempati Kedah dan jumlah membawa orangnya ke Aceh.[4]

Pada saat Sultan Alaidin Righayat Syah Sayed Al-Mukammil (kakek Sultan Iskandar Muda) didatangkan perutusan diplomatik ke Belanda pada tahun 1602 dengan pimpinan Tuanku Abdul Hamid. Sultan juga jumlah mengirim surat ke beragam pemimpin dunia seperti ke Sultan Turki Selim II, Pangeran Maurit van Nassau, dan Ratu Elizabeth I. Semua ini dimainkan kepada memperkuat jabatan kekuasaan Aceh.

Kemunduran

Kemunduran Aceh dikarenakan oleh beberapa faktor, di selangnya ialah makin menguatnya kekuasaan Belanda di pulau Sumatera dan Selat Malaka, ditandai dengan jatuhnya wilayah Minangkabau, Siak, Tiku, Tapanuli, Mandailing, Deli, Barus (1840) serta Bengkulu kedalam pangkuan penjajahan Belanda. Faktor penting lainnya ialah benarnya perebutan kekuasaan di selang pewaris tahta kesultanan.

Diplomat Aceh ke Penang. Duduk : Teuku Kadi Malikul Berpihak kepada yang benar (kiri) dan Teuku Imeum Lueng Bata (kanan). Sekitar tahun 1870an

Hal ini dapat ditelusuri lebih awal setelah kemangkatan Sultan Iskandar Tsani hingga serangkaian kejadian kelak, dimana para bangsawan ingin mengurangi kontrol ketat kekuasaan Sultan dengan mengangkat janda Iskandar Tsani dijadikan Sultanah. Beberapa sumber mengatakan bahwa ketakutan akan kembalinya Raja tiran (Sultan Iskandar Muda) yang melatar-belakangi pengangkatan ratu.

Sejak itu saat damai terasa di Aceh, para Ulèëbalang bebas sama sekali berdagang dengan pedagang asing tidak harus melintasi pelabuhan sultan di ibukota. Lada dijadikan tanaman utama yang dibudidayakan seantero pesisir Aceh sehingga dijadikan pemasok utama lada dunia hingga yang belakang sekali ratus tahun 19. Namun beberapa elemen penduduk terutama dari kaum wujudiyah berkeinginan penguasa nanti merupakan seorang laki-laki bergelar Sultan. Mereka mengklaim bahwa pewaris sah masih hidup dan tinggal bersama mereka di pedalaman. Perang saudara pecah, mesjid raya, Dalam terbakar, kota Bandar Aceh dalam kegaduhan dan ketidak-tentraman. Menindaklanjuti pertikaian ini, Kadhi Malikul Berpihak kepada yang benar (semacam mufti agung) Tgk. Syech Abdurrauf As-Sinkily melakukan beragam reformasi terutama perihal pembagian kekuasaan dengan terbentuknya tiga sagoe. Hal ini mengakibatkan kekuasaan sultanah/sultan sangat lemah dengan hanya berkuasa penuh pada daerah Bibeueh (kekuasaan langsung) semata.

Perang saudara dalam hal perebutan kekuasaan masuk mempunyai peran akbar dalam melemahnya Kesultanan Aceh. Pada saat Sultan Alauddin Jauhar Alamsyah (1795-1824), seorang keturunan Sultan yang terbuang Sayyid Hussain mengklaim mahkota kesultanan dengan mengangkat anaknya dijadikan Sultan Saif Al-Alam. Perang saudara kembali pecah namun berkat bantuan Raffles dan Koh Lay Huan, seorang pedagang dari Penang kedudukan Jauhar (yang dapat berbicara Perancis, Inggris dan Spanyol) dikembalikan. Tak selesai sampai disitu, perang saudara kembali terjadi dalam perebutan kekuasaan selang Tuanku Sulaiman dengan Tuanku Ibrahim yang kelak bergelar Sultan Mansur Syah (1857-1870).

Sultan Mansyur Syah berusaha semampunya kepada memperkuat kembali kesultanan yang sudah rapuh. Dia berhasil menundukkan para raja lada kepada menyetor upeti ke sultan, hal yang sebelumnya tak dapat dimainkan sultan terdahulu. Kepada memperkuat pertahanan wilayah timur, sultan mengirimkan armada pada tahun 1854 diberi segala sesuatu yang diajarkan oleh Laksamana Tuanku Usen dengan kemampuan 200 perahu. Ekspedisi ini kepada mempercayakan kekuasaan Aceh terhadap Deli, Langkat dan Serdang. Namun naas, tahun 1865 Aceh naikkan kaki dari daerah itu dengan ditaklukkannya benteng Pulau Kampai.[5]

Sultan juga berusaha mewujudkan persekutuan dengan pihak luar menjadi usaha kepada membendung serangan Belanda. Dikirimkannya utusan kembali ke Istanbul menjadi pemertegas status Aceh menjadi vassal Turki Utsmaniyah serta mengirimkan sejumlah dana bantuan kepada Perang Krimea. Menjadi sambutan, Sultan Abdul Majid I mengirimkan beberapa alat tempur kepada Aceh. Tak hanya dengan Turki, sultan juga berusaha mewujudkan aliansi dengan Perancis dengan mengirim surat kepada Raja Perancis Louis Philippe I dan Presiden Republik Perancis ke II (1849). Namun permohonan ini tidak dilayani dengan serius.[3]

Kemunduran terus berlanjut dengan naiknya Sultan Mahmudsyah yang muda nan lemah ke tapuk kekuasaan. Serangkaian upaya diplomasi ke Istanbul yang diberi segala sesuatu yang diajarkan oleh Teuku Paya Bakong dan Habib Abdurrahman Az-zahier kepada memerangi ekspansi Belanda gagal. Setelah kembali ke ibukota, Habib bersaing dengan seorang India Teuku Panglima Maharaja Tibang Muhammad kepada menancapkan pengaruh dalam pemerintahan Aceh. Kaum moderat cenderung mendukung Habib namun sultan justru melindungi Panglima Tibang yang dicurigai bersekongkol dengan Belanda ketika berunding di Riau.[5]

Pada yang belakang sekali November 1871, lahirlah apa yang dikata dengan Traktat Sumatera, dimana disebutkan dengan jelas "Inggris harus berlepas diri dari segala unjuk perasaan terhadap perluasan kekuasaan Belanda di anggota manapun di Sumatera. Pembatasan-pembatasan Traktat London 1824 mengenai Aceh dibatalkan." Sejak itu, usaha-usaha kepada menyerbu Aceh makin santer disuarakan, baik dari negeri Belanda maupun Batavia. Para Ulee Balang Aceh dan utusan khusus Sultan ditugaskan kepada mencari bantuan ke sekutu lama Turki. Namun keadaan kala itu tidak memungkinkan karena Turki kala itu baru saja berperang dengan Rusia di Krimea. Usaha bantuan juga ditujukan ke Italia, Perancis hingga Amerika namun nihil. Dewan Delapan yang dibentuk di Penang kepada meraih simpati Inggris juga tidak dapat berbuat apa-apa. Dengan argumen ini, Belanda memantapkan diri menyerah ibukota. Maret 1873, pasukan Belanda mendarat di Pantai Cermin Meuraksa menandai awal invasi Belanda Aceh.

Perang Aceh

Perang Aceh dimulai sejak Belanda mengedepankan perang terhadap Aceh pada 26 Maret 1873 setelah melakukan beberapa ancaman diplomatik, namun tidak berhasil merebut wilayah yang akbar. Perang kembali berkobar pada tahun 1883, namun lagi-lagi gagal, dan pada 1892 dan 1893, pihak Belanda menganggap bahwa mereka telah gagal merebut Aceh.

Sultan Aceh Muhammad Daud Syah menyerah di hadapan Jenderal Van Heutsz.

Pada tahun 1896 Dr. Christiaan Snouck Hurgronje, seorang pandai Islam dari Universitas Leiden yang telah berhasil mendapatkan kepercayaan dari jumlah pemimpin Aceh, memberikan saran kepada Belanda supaya merangkul para Ulèëbalang, dan melumatkan habis-habisan kaum ulama. Saran ini baru terlaksanan pada saat Gubernur Jenderal Joannes Benedictus van Heutsz. Pasukan Marsose dibentuk dan G.C.E. Van Daalen diutus mengejar habis-habisan pejuang Aceh hingga pedalaman.

Pada Januari tahun 1903 Sultan Muhammad Daud Syah dihabisi menyerahkan diri kepada Belanda setelah dua istrinya, anak serta ibundanya terlebih dahulu ditangkap oleh Belanda. Panglima Polem Muhammad Daud, Tuanku Raja Keumala, dan Tuanku Mahmud menyusul pada tahun yang sama pada bulan September. Perjuangan di lanjutkan oleh ulama keturunan Tgk. Chik di Tiro dan dihabisi ketika Tgk. Mahyidin di Tiro atau lebih dikenal Teungku Mayed tewas 1910 di Gunung Halimun. [6]

Pemerintahan

Sultan Aceh

Sultan Muhammad Daud Syah Johan Berdaulat, Sultan Aceh terbelakang yang bertahta pada tahun 1874-1903.

Sultan Aceh atau Sultanah Aceh merupakan penguasa / raja dari Kesultanan Aceh. Sultan awal mulanya berkedudukan di Gampông Pande, Bandar Aceh Darussalam selanjutnya pindah ke Dalam Darud Dunia di daerah sekitar pendopo Gubernur Aceh kini. Dari awal hingga tahun 1873 ibukota benar tetap di Bandar Aceh Darussalam, yang selanjutnya kesudahan suatu peristiwa Perang dengan Belanda pindah ke Keumala, sebuah daerah di pedalaman Pidie.

Sultan/Sultanah diangkatkan maupun diturunkan atas persetujuan oleh tiga Panglima Sagoe dan Teuku Kadi Malikul Berpihak kepada yang benar (Mufti Luhur kerajaan). Sultan baru sah bila telah membayar "Jiname Aceh" (mas kawin Aceh), merupakan emas murni 32 kati, uang tunai seribu enam ratus ringgit, beberapa puluh ekor kerbau dan beberapa gunca padi. Daerah yang langsung benar dalam kekuasaan Sultan (Daerah Bibeueh) sejak Sultanah Zakiatuddin Inayat Syah merupakan daerah Dalam Darud Dunia, Mesjid Raya, Meuraxa, Lueng Bata, Pagarayée, Lamsayun, Peulanggahan, Gampông Jawa dan Gampông Pande.[7]

Simbol kekuasaan tertinggi yang dipegang Sultan dilambangkan dengan dua metode merupakan keris dan cap. Tidak keris tidak benar pegawai yang dapat mengaku bertugas melakukan perintah Sultan. Tidak cap tidak benar peraturan yang mempunyai kemampuan hukum.[8]

Perangkat Pemerintahan

Perangkat pemerintahan Sultan kadang menemui perbedaan tiap saatnya. Berikut merupakan badan pemerintahan saat Sultanah di Aceh :

  • Balai Rong Sari, merupakan lembaga yang diberi segala sesuatu yang diajarkan oleh Sultan sendiri, yang anggota-anggotanya terdiri dari Hulubalang Empat dan Ulama Tujuh. Lembaga ini bertugas membikin program dan penelitian.
  • Balai Majlis Mahkamah Rakyat, merupakan lembaga yang diberi segala sesuatu yang diajarkan oleh Kadli Maiikul Adil, yang beranggolakan tujuh puluh tiga orang; anggar-anggar semacam Dewan Perwakilan Rakyat kini.
  • Balai Gading, merupakan Lembaga yang diberi segala sesuatu yang diajarkan Wazir Mu'adhdham Orang Kaya Laksamana Seri Perdana Menteri; anggar-anggar Dewan Menteri atau Kabinet kalau kini, termasuk sembilan anggota Majlis Mahkamah Rakyat yang diangkatkan.
  • Balai Furdhah, merupakan lembaga yang mengelola hal ihwal ekonomi, yang diberi segala sesuatu yang diajarkan oleh seorang wazir yang bergelar Menteri Seri Paduka; anggar-anggar Departemen Perdagangan.
  • Balai Laksamana, merupakan lembaga yang mengelola hal ihwal tingkatan perang, yang diberi segala sesuatu yang diajarkan oleh seorang wazir yang bergelar Laksamana Amirul Harb; anggar-anggar Departemen Pertahanan.
  • Balai Majlis Mahkamah, merupakan lembaga yang mengelola hal ihwal kehakiman/pengadilan, yang diberi segala sesuatu yang diajarkan oleh seorang wazir yang bergelar Seri Raja Panglima Wazir Mizan; kirakira Departemen Kehakiman.
  • Balai Baitul Mal, merupakan lembaga yang mengelola hal ihwal keuangan dan perbendaharaan negara, yang diberi segala sesuatu yang diajarkan oleh seorang wazir yang bergelar Orang Kaya Seri Maharaja Bendahara Raja Wazir Dirham; anggar-anggar Departemen Keuangan.

Selain itu terdapat beragam pejabat tinggi Kesultanan selang lain

  • Syahbandar, mengelola masalah perdagangan di pelabuhan
  • Teuku Kadhi Malikul Berpihak kepada yang benar, semacam hakim tinggi.
  • Wazir Seri Maharaja Mangkubumi, merupakan pejabat yang mengelola segala Hulubalang; anggar-anggar Menteri Dalam Negeri.
  • Wazir Seri Maharaja Gurah, merupakan pejabat yang mengelola urusan hasil-hasil dan pengembangan hutan; anggar-anggar Menteri Kehutanan.
  • Teuku Keurukon Katibul Muluk, merupakan pejabat yang mengelola urusan sekretariat negara termasuk penulis resmi surat kesultanan, dengan gelar lengkapnya Wazir Rama Setia Kerukoen Katibul Muluk; anggar-anggar Sekretaris Negara. [9]


Ulèëbalang & Pembagian Wilayah

Pada waktu Kerajaan Aceh sudah benar beberapa kerajaan seperti Peureulak, Pasée, Pidie, Teunom, Daya, dan menjadinya yang sudah berdiri. Disamping kerajaan ini terdapat daerah bebas sama sekali lain yang diperintah oleh raja-raja kecil. Pada saat Sultan Iskandar Muda semua daerah ini diintegrasikan dengan Kesultanan Aceh dan diberi nama Nanggroe, disamakan dengan tiga daerah inti Kesultanan yang dikata Aceh Besar. Tiap daerah ini diberi segala sesuatu yang diajarkan oleh Ulèëbalang. Pada saat Sultanah Zakiatuddin Inayat Syah (1088 - 1098 H = 1678 - 1688 M) dengan Kadi Malikul Berpihak kepada yang benar (Mufti Agung) Tgk. Syaikh Abdurrauf As-Sinkily dimainkan reformasi pembagian wilayah. Kerajaan Aceh dibagi tiga federasi dan daerah otonom. Bangun federasi dikata Sagoe dan kepalanya dikata Panglima Sagoe. Berikut pembagian tiga segi (Lhée Sagoe) :

  • Sagoe XXII Mukim, yang Kepala Sagoenya bergelar Sri Muda Perkasa Panglima Polem Wazirul Azmi. Kecuali dijadikan kepala wilayahnya, juga diangkatkan dijadikan Wazirud Daulah (Menteri Negara).
  • Sagoe XXV Mukim, yang Kepala Sagoenya bergelar Sri Setia Ulama Kadli Malikul 'Alam. Kecuali dijadikan Kepala Wilayahnya, juga diangkatkan dijadikan Ketua Majelis Ulama Kerajaan.
  • Sagoe XXVI Mukim, yang Kepala Sagoenya bergelar Sri Imeum Muda Panglima Wazirul Uzza. Kecuali dijadikan Kepala Wilayahnya, juga diangkatkan dijadikan Wazirul Harb (Menteri Urusan Peperangan).

Dalam setiap Sagoe terdapat Gampong. Setiap gampong memiliki sebuah Meunasah. Selanjutnya gampong itu mewujudkan Mukim yang terdapat satu Mesjid kepada melakukan shalat jumat sesuai mazhab Syafi'ie.[10] Kecuali dari 3 wilayah Sagoe ini, semua daerah memiliki hak otonom yang lebar [11].

Ulèëbalang yang diberi hak mengelola daerah otonom non Lhée Sagoe, secara teori merupakan pejabat sultan yang diberikan Sarakata pengangkatan dengan Cap Sikureueng. Namun fakta di lapangan mereka merupakan merdeka. Memang Sultan Aceh tidak dapat mengontrol semua Ulèëbalang yang telah dijadikan pejabat di pedalaman. Dengan lemahnya pengontrolan ini sehingga mereka lambat laun tidak mau tunduk kembali dan mengindahkan kekuasaan Sultan. Mereka mulai berdagang dengan pedagang asing di pelabuhan mereka sendiri. Saudagar-saudagar yang terlibat dalam perdagangan luar negeri ini tidak mau menyetorkannya kepada petugas Sultan, tetapi menyetorkannya kepada Ulèëbalang langsung. [12]

Ditegaskan juga dalam sarakata bahwa Ulèëbalang terikat dalam sumpah yang kontennya menjadi berikut :

Demi Allah, kita sekalian hulubalang khadam Negeri Aceh, dan sekalian kita yang benar jabatan masing-masing kadar mertabat, akbar kecil, timur barat, tunong baroh, sekalian kita ini semuanya, kita thaat setia kepada Allah dan Rasul, dan kita semua ini thaat setia kepada Agama Islam, mengikuti Syariat Nabi Muhammad Saw, dan kita semua ini taat setia kepada raja kita dengan mengikuti perintahnya atas yang hak, dan kita semuanya cinta pada Negeri Aceh, mempertahankan dari pada serangan musuh, kecuali benar masyakkah, dan kita semua ini cinta kasih pada sekalian rakyat dengan memegang amanah harta orang yang telah dipercayakan oleh empunya kepunyaan. Maka bila semua kita yang telah bersumpah ini berkhianat dengan mengubah akad seperti yang telah kita ikral dalam sumpah kita semua ini, demi Allah kita semua dapat kutuk Allah dan Rasul, mulai dari kita semua sampai pada anak cucu kita dan cicit kita turun temurun, dapat cerai berai berlaga, bantah dakwa-dakwi dan dicari oleh senjata mana-mana berupa apa-apa sekalipun. Wassalam.
Sumpah Ulee Balang

Dokumen sumpah itu selanjutnya disimpankan oleh Wazir Rama Setia antaraku Sekretaris Kerajaan Aceh, Said Abdullah Di Meuleuk, yang selanjutnya disimpankan secara turun temurun oleh keturunannya hingga kala ini, khusus untuk rakyat yang termasuk dalam daerah wewenangnya, dalam hal ini ia boleh mengangkat seorang Kadi/hakim kepada menolongnya. Menjadi penutup ditegaskan, sekiranya Ulée Balang gagal dalam melakukan tugasnya menurut hukum-hukum Allah, ia akan kehilangan kepercayaan atasannya.[13] Diakhir sarakata itu dianjurkan Uleebalang itu menegakkan shalat lima waktu, melakukan sembahyang Jum'at, mengeluarkan zakat, mendirikan mesjid dan tempat-tempat ibadah lainnya, mendirikan dayah, dan sekiranya kuasa melakukan ibadah haji.

Perekonomian

Salah satu kerajinan logam di Aceh.

Aceh jumlah memiliki komoditas yang diperdagangkan diantaranya :

  1. Minyak tanah dari Deli,
  2. Belerang dari Pulau Weh dan Gunung Seulawah,
  3. Kapur dari Singkil,
  4. Kapur Barus dan menyan dari Barus.
  5. Emas di pantai barat,
  6. Sutera di Banda Aceh.

Selain itu di ibukota juga jumlah terdapat pintar emas, tembaga, dan suasa yang memproses barang mentah dijadikan barang sah. Sedang Pidie merupakan lumbung beras untuk kesultanan.[14]Namun di selang semua yang dijadikan komoditas unggulan kepada diekspor merupakan lada.

Produksi terbesar terjadi pada tahun 1820. Menurut persangkaan Penang, nilai ekspor Aceh mencapai 1,9 juta dollar Spanyol. Dari jumlah ini $400.000 dibawa ke Penang, senilai $1 juta diangkut oleh pedagang Amerika dari wilayah lada di pantai barat. Sisanya diangkut kapal dagang India, Perancis, dan Arab. Pusat lada terletak di pantai Barat merupakan Rigas, Teunom, dan Meulaboh.[5]


Kebudayaan

Arsitektur

Gunongan dan Kandang (Makam) Sultan Iskandar Tsani.

Tidak jumlah peninggalan kontruksi zaman Kesultanan yang tersisa di Aceh. Istana Dalam Darud Donya telah terbakar pada saat perang Aceh - Belanda. Kini, anggota inti dari Istana Dalam Darud Donya yang merupakan tempat kediaman Sultan Aceh telah berubah dijadikan Kraton Meuligoe yang dipakai menjadi Pedopo Gubernur Aceh. Butuh dicatat bahwa pada saat Kesultanan kontruksi batu dilarang karena ditakutkan akan dijadikan benteng memerangi Sultan. Selain itu, Masjid Raya Baiturrahman kala ini bukanlah arsitektur yang sebenarnya dikarenakan yang asli telah terbakar pada saat Perang Aceh - Belanda. Peninggalan arsitektur pada saat kesultanan yang masih dapat dilihat sampai kala ini selang lain Benteng Indra Patra, Masjid Tua Indrapuri, Pinto Khop, Leusong dan Gunongan beserta Taman Ghairah yang lebar dipusat Kota Banda Aceh.

Kesusateraan

Sebagaimana daerah lain di Sumatera, beberapa kisah maupun legenda disusun dalam bangun hikayat. Hikayat yang terkenal selang lain merupakan Hikayat Malem Dagang yang berceritakan tokoh heroik Malem Dagang dalam settingan penyerbuan Malaka oleh Tingkatan Laut Aceh. Benar kembali lainnya merupakan Bhikayat Malem Diwa, hikayat Banta Beuransah, Gajah Tujoh Ulee, Cham Nadiman, hikayat Pocut Muhammad, hikayat Perang Goempeuni, hikayat Habib Hadat, kisah Abdullah Hadat dan hikayat Prang Sabi. [12]

Salah satu karya kesusateraan yang paling terkenal merupakan Bustanus Salatin (taman para raja) karya Syaikh Nuruddin Ar-Raniry disamping Taj al-salatin (1603), Sulalat al-Salatin (1612), dan Hikayat Aceh (1606-1636). Selain Ar-Raniry terdapat pula penyair Aceh yang luhur merupakan Hamzah Fansuri dengan karyanya selang lain Asrar al-Arifin (Rahasia Orang yang Bijaksana), Sharab al-Asyikin (Minuman Segala Orang yang Berahi), Zinat al-Muwahidin (Perhiasan Sekalian Orang yang Mengesakan), Syair Si Burung Pingai, Syair Si Burung Pungguk, Syair Sidang Fakir, Syair Dagang dan Syair Perahu.

Karya Agama

Para ulama Aceh jumlah terlibat dalam karya di bidang keagamaan yang dipakai lebar di Asia Tengga. Syaikh Abdurrauf menerbitkan terjemahan dari Tafsir Alqur'an Anwaarut Tanzil wa Asrarut Takwil, karangan Abdullah bin Umar bin Muhammad Syirazi Al Baidlawy ke dalam bahasa jawi.

Selanjutnya benar Syaikh Daud Rumy menerbitkan Risalah Masailal Muhtadin li Ikhwanil Muhtadi yang dijadikan kitab pengantar di dayah sampai kini. Syaikh Nuruddin Ar-Raniry setidaknya menulis 27 kitab dalam bahasa melayu dan arab. Yang paling terkenal merupakan Sirath al-Mustaqim, kitab fiqih pertama terlengkap dalam bahasa melayu. [9]

Militer

Salah satu meriam yang dipunyai Kesultanan Aceh.

Pada saat Sultan Selim II dari Turki Utsmani, dikirimkan beberapa teknisi dan pembuat senjata ke Aceh. Selanjutnya Aceh selanjutnya merembes kemampuan ini dan dapat memproduksi meriam sendiri dari kuningan.[15]


Tradisi kesultanan

Gelar

Lihat juga

Acuan

Sumber

  1. ^ Sejarah Kerajaan Aceh di MelayuOnline.com
  2. ^ Sumatra and the Malay peninsula, 16th century
  3. ^ a b Reid, Anthony (2011). Menuju Sejarah Sumatera, Selang Indonesia dan Dunia. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. hlm. 97–99. 
  4. ^ Lombard, Denys (2008). Kerajaan Aceh: Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Jakarta: Kepustakaan Termasyhur Gramedia. 
  5. ^ a b c Reid, Anthony (2005). Asal mula konflik Aceh: dari perebutan Pantai Timur Sumatra hingga yang belakang sekali Kerajaan Aceh ratus tahun ke-19. Jakarta: Yayasan Obor. 
  6. ^ Zentgraft, Door H.C. (1938). ATJEH. Batavia: Koninklijke Drukkerij de Unie. 
  7. ^ 20 Tahun Universitas Syiah Kuala. Banda Aceh, Medan: Percetakan Universitas Syiah Kuala. 1980. hlm. 376–377. 
  8. ^ Lombard, Denys (2008). Kerajaan Aceh: Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Jakarta: Kepustakaan Termasyhur Gramedia. hlm. 104. 
  9. ^ a b Hasjmi, Ali. 59 Tahun Aceh Merdeka di Bawah Pemerintahan Ratu. Jakarta: Bulan Bintang. hlm. 130 – 133. 
  10. ^ Lombard, Denys (2008). Kerajaan Aceh: Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Jakarta: Kepustakaan Termasyhur Gramedia. 
  11. ^ El Ibrahimy, M. Nur (1980). Kisah Kembalinya Tgk. Mohd Daud Beureueh ke Pangkuan Republik Indonesia. Jakarta: Penerbit M. Nur El Ibrahimy. hlm. 41–42. 
  12. ^ a b Hurgronje, Snouck. The Acehnese, translated by A.W.O. Sullivian. Leiden: B.J. Brill. hlm. 434. 
  13. ^ El Ibrahimy, M. Nur (1980). Kisah Kembalinya Tgk. Mohd Daud Beureueh ke Pangkuan Republik Indonesia. Jakarta: Penerbit M. Nur El Ibrahimy. hlm. 51. 
  14. ^ Lombard, Denys (2008). Kerajaan Aceh: Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Jakarta: Kepustakaan Termasyhur Gramedia. hlm. 87. 
  15. ^ Medieval Islamic Civilization: An Encyclopedia Josef W. Meri hal. 465 [1]

Pranala luar

 
Aceh · Aru · Asahan · Bintan · Daya · Deli · Dharmasraya · Indragiri · Inderapura · Jambi · Jeumpa · Johor · Kantoli · Kuntu Kampar · Lamuri · Langkat · Linge · Malaka · Minanga · Palembang · Pagaruyung · Pannai · Pedir · Pelalawan · Peureulak · Riau-Lingga · Samudera Pasai · Serdang · Siak · Siguntur · Sontang · Sriwijaya · Sungai Pagu · Tulang Bawang


Sumber :
kategori-antropologi.al-quran.co, wiki.edunitas.com, id.wikipedia.org, ilmu-pendidikan.com, dan lain-lainnya.