Thomas Aquinas

Thomas Aquinas
St-thomas-aquinas.jpg
Thomas Aquinas memegang bukunya: Summa Theologiae.
Mata pencaharianBiarawan, Filsuf, Teolog
Aliran sastraScholasticism, Thomism
TemaMetafisika, Logic, Mind,
Epistemology, Ethics, Politik
Karya tersohorSumma Theologica


Thomas Aquinas (1225-1274) yaitu seorang filsuf dan teolog dari Italia yang sangat berpengaruh pada zaman pertengahan.[1] Karya Thomas Aquinas yang tersohor yaitu Summa Theologiae (1273), yaitu sebuah buku yang merupakan sintesis dari filsafat Aristoteles dan segala sesuatu yang diajarkan Gereja Kristen.[2] Pada tahun 1879, ajaran-ajarannya dijadikan sebagai segala sesuatu yang diajarkan yang sah dalam Gereja Katolik Roma oleh Paus Leo XIII.[1] Thomas Aquinas juga dinamakan Thomas dari Aquino (bahasa Italia: Tommaso d’Aquino).[1]

Kehidupan Thomas Aquinas

Aquinas dilahirkan di Roccasecca dekat Napoli, Italia.[3] dalam keluarga bangsawan Aquino.[4] Ayahnya ialah Pangeran Landulf dari Aquino dan ibunya bernama Countess Teodora Carracciolo.[5] Kedua penghuni tuanya yaitu penghuni Kristen Katolik yang saleh. Thomas, pada umur lima tahun diserahkan ke biara Benedictus di Monte Cassino supaya dibina untuk dijadikan seorang biarawan.[5] Setelah dasawarsa Thomas tidak kekurangan di Monte Cassino, dia dialihkan ke Naples. Di sana dia berusaha bisa mengenai kesenian dan filsafat (1239-1244). [6] Sementara di sana, dia mulai tertarik pada mata pencaharian kerasulan gereja, dan berusaha untuk pindah ke Ordo Dominikan, suatu ordo yang sangat dominan pada zaman itu. Hasratnya tidak direstui oleh penghuni tuanya sehingga dia harus tinggal di Roccasecca setahun semakin lamanya. Namun, karena tekadnya pada tahun 1245, Thomas resmi dijadikan anggota Ordo Dominikan.[1]

Sebagai anggota Ordo Dominikan, Thomas dikirim berusaha bisa pada Universitas Paris, sebuah universitas yang sangat terkemuka pada masa itu. Dia berusaha bisa di sana sementara tiga tahun (1245 - 1248).[6] Di sinilah dia berkenalan dengan Albertus Magnus yang memperkenalkan filsafat Aristoteles kepadanya.[7] Dia menemani Albertus Magnus memberikan kuliah di Studium Generale di Cologne, Perancis, pada tahun 1248 - 1252.[7]

Pada tahun 1252, dia kembali ke Paris dan mulai memberi kuliah Biblika (1252-1254) dan Sentences, karangan Petrus Abelardus (1254-1256) di Konven St. Jacques, Paris. Thomas ditugaskan untuk memberikan kuliah-kuliah dalam anggota filsafat dan teologia di beberapa kota di Italia, seperti di Anagni, Orvieto, Roma, dan Viterbo, sementara dasawarsa lamanya. Pada tahun 1269, Thomas dipanggil kembali ke Paris untuk tiga tahun karena pada tahun 1272 dia ditugaskan untuk terbuka sebuah sekolah Dominikan di Naples.[5]

Dalam afal mengarah ke Konsili Lyons, tiba-tiba Thomas sakit dan berpulang di biara Fossanuova, 7 Maret 1274.[6] Paus Yohanes XXII mengangkat Thomas sebagai penghuni kudus pada tahun 1323

Kastil Monte San Giovanni Campano

Segala sesuatu yang diajarkan Thomas Aquinas

Santo Thomas Aquinas
St. Thomas Aquinas, by Fra Angelico, O.P.
Doktor Gereja
Kelahiranc. 1225, Aquino, Kerajaan Sisilia
Wafat7 Maret 1274, Fossanuova Abbey, Kerajaan Sisilia
Dihormati diGereja Katolik Roma
Komuni Anglikan
Dikanonisasikan1323, Avignon, Perancis oleh Paus Yohanes XXII
Tempat ziarah utamaChurch of the Jacobins, Toulouse, Perancis
Hari peringatan28 Januari (baru),
7 Maret (lama)
AtributThe Summa Theologica, a model church, the Sun
PelindungAll Catholic educational institutions

Allah

Thomas memberi pelajaran ke Allah dalam pandangannya yang mencerminkan pengaruh filsafat Aristoteles dari zaman Yunani klasik: sebagai "ada yang tak terbatas" (ipsum esse subsistens).[2]

  • Allah yaitu "zat yang tertinggi", yang memunyai kondisi yang paling tinggi.
  • Allah yaitu penggerak yang tidak bergerak.

Manusia dan dunia

Dunia dan hidup manusia menurut Thomas terbagi atas dua tingkat, yaitu tingkat adikodrati dan kodrati, tingkat atas dan bawah. Tingkat bawah (kodrati) hanya mampu dipahami dengan mempergunakan daya pikir. Hidup kodrati ini kurang sempurna dan dia dapat dijadikan sempurna kalau disempurnakan oleh hidup rahmat (adikodrati).[2]

Tabiat kodrati bukan dicerai-beraikan, melainkan disempurnakan oleh rahmat

Thomas memberi pelajaran ke bahwa pada mulanya manusia memunyai hidup kodrati yang sempurna dan diberi rahmat Allah.[2]

Dosa

Ketika manusia jatuh ke dalam dosa, rahmat Allah (rahmat adikodrati) itu hilang dan tabiat kodrati manusia dijadikan kurang sempurna. Manusia tidak mampu lagi memenuhi hukum kasih tanpa bantuan rahmat adikodrati. Rahmat adikodrati itu dinegosiasikan kepada manusia lewat gereja. Dengan bantuan rahmat adikodrati itu manusia dikuatkan untuk mengerjakan keselamatannya dan memungkinkan manusia dimenangkan oleh Kristus.[2]

Sakramen

Mengenai sakramen, dia berpendapat bahwa terdapat tujuh sakramen yang diperintahkan oleh Kristus, dan sakramen yang terpenting yaitu Ekaristi (sacramentum sacramentorum). Rahmat adikodrati itu disalurkan kepada penghuni percaya lewat sakramen. Dengan menyambut sakramen, penghuni mulai berlanjut mengarah kepada suatu kehidupan yang baru dan melakukan perbuatan-perbuatan tidak sewenang-wenang yang merupakan dia berkenan kepada Allah. Dengan demikian, rahmat adikodrati sangat penting karena manusia tidak dapat berbuat apa-apa yang tidak sewenang-wenang tanpa rahmat yang dikaruniakan oleh Allah.[2]

Gereja dipandangnya sebagai lembaga keselamatan yang tidak mampu ada kesalahan dalam segala sesuatu yang diajarkannya. Paus ada kuasa yang tertinggi dalam gereja dan Pauslah satu-satunya pengajar yang tertinggi dalam gereja. Karya teologis Thomas yang sangat tersohor yaitu "Summa Contra Gentiles" dan "Summa Theologia".[2]

Salah satu filsuf Kristen yang mengkritik konsep Thomas Aquinas yaitu Gordon H. Clark. Bukunya "God's Hammer" halaman 67 sampai 71 mengandung kritikan dia terhadap Thomas.[2]

Dalam sejarah konsep Kristen, antithesis selang iman dan daya pikir budi (reason) telah dihampiri dengan bermacam cara. Perdebatan selang sesama Kristen dan selang Kristen dengan kaum sekuler kadang-kadang mengakibatkan kebingungan karena sebutan yang dipakai tidak selalu didefinisikan dengan jelas. Bukan hanya Agustinus dan Kant ada pandangan yang berlainan tentang natur iman, namun sebutan daya pikir budi (reason) sendiri mengandung guna yang berjenis-jenis. Setelah memberikan gambaran singkat tentang latar belakangan historis, penulis ada harapan menghindari kebingungan seperti itu dengan mengemukakan ruang lingkup daya pikir budi (reason) yang mungkin membantu pembelaan terhadap wahyu sebagai sesuatu yang rasional.[2]

Upaya Skolastik Zaman Pertengahan

Dalam gambaran historis singkat ini, cara untuk menghubungkan iman dan rasio yang pertama dibahas yaitu filsafat Thomistik Gereja Roma Katolik. Lain daripada persetujuan (assent) pribadi penghuni percaya, dalam system ini iman berarti informasi yang diwahyukan yang tidak kekurangan dalam Alkitab, tradisi, dan suara hidup dari gereja Roma. Daya pikir budi berarti informasi yang mampu diperoleh melalui penelitian inderawi terhadap dunia dan diinterpretasi intelek. Rasionalis zaman ketujuhbelas membedakan daya pikir budi (reason) dengan sensasi [inderawi], Thomas membedakan daya pikir budi (reason) dan wahyu. Kebenaran daya pikir budi yaitu kebenaran yang mampu diperoleh melalui daya indera dan intelek alamiah manusia tanpa bantuan anugerah supranatural.

Ruang lingkup iman dan daya pikir budi ini mengakibatkan wahyu hanya “tidak masuk akal” (unreasonable) secara verbal; wahyu tidak mampu dinamakan absen daya pikir atau irasional dalam pengertian yang merendahkan. Kadang-kadang kita curiga kaum sekuler memakai verbalisme untuk memberikan bekas yang menakutkan.

Thomisme memang menekankan ketiadaan kompatibilitas selang iman dan daya pikir budi, namun ketiadaan kompatibilitas itu bersifat psikologis semata. Kalau Alkitab mewahyukan bahwa Allah tidak kekurangan dan kita percaya Alkitab, maka kita ada kebenaran iman. Namun demikian, menurut Thomisme yaitu memungkinkan untuk mendemonstrasikan keberadaan Allah melalui penelitian terhadap dunia. Aristoteles sukses melakukannya. Namun, kalau seseorang telah secara rasional mendemonstrasikan proposisi ini, penghuni itu tidak lagi “percaya”, dia tidak lagi menyambut proposisi itu berdasarkan otoritas; dia “mengetahui” proposisi itu. Secara psikologis tidak mungkin pada masa yang pas “percaya” dan “mengetahui” satu proposisi. Seorang guru mungkin memberitahu siswanya bahwa segitiga ada 180o dan sang siswa percaya perkataan sang guru; namun setelah si siswa mempelajari buktinya, maka dia tidak lagi menyambut teorema berdasarkan kata-kata guru. Si siswa sudah memahami sendiri. Tidak semua proposisi wahyu mampu didemonstrasikan dengan filsafat rasional; tetapi tidak kekurangan kebenaran-kebenaran yang mampu didemonstrasikan yang juga telah diwahyukan kepada manusia, karena Allah kenal bahwa tidak semua penghuni ada daya intelektual seperti Aristotle; karenanya Allah mewahyukan beberapa kebenaran itu, walaupun mampu didemonstrasikan, demi banyakan umat manusia.

Muatan (content) wahyu yang tidak mampu didemonstrasikan (seperti doktrin Trinitas dan sakramen), walaupun tidak kekurangan di luar jangkauan daya pikir budi seperti ruang lingkup di atas, tidaklah irasional atau nonsensical. Kaum Muhammadean (Islam) Zaman Pertengahan dan kaum humanis modern mampu saja mengklaim bahwa doktrin Trinitas tidak rasional, namun daya pikir budi cukup mampu untuk mendemonstrasikan bahwa keberatan yang dikemukakan keliru/salah (fallacious). Kebenaran iman yang semakin tinggi tidak bertentangan dengan kesimpulan daya pikir budi manapun; sebaliknya doktrin wahyu melengkapi apa yang tidak mampu dicapai oleh daya pikir budi. Kedua rangkaian kebenaran ini, atau semakin tepatnya kebenaran yang diperoleh dari dua cara berlainan ini saling melengkapi. Bukannya dijadikan penghalang untuk daya pikir budi, iman berfungsi memberi peringatan kepada seorang pemikir bahwa dia ada kesalahan. Kita jangan memandang seorang percaya sebagai seorang yang harus dimerdekakan dari penjara imannya; iman hanya membatasi dari kealpaan. Dengan demikian iman dan daya pikir budi serasi satu dengan yang lain.

Hanya satu kritik yang hendak penulis kemukakan tentang sistem ini, tetapi kritik ini dipandang sangat penting oleh kaum Thomist dan penentangnya. Kalau argumune kosmologis untuk keberadaan Allah merupakan kealpaan logika, maka Thomisme dan pandangannya tentang hubungan selang iman dan daya pikir budi tidak mampu dipertahankan .

Kesulitan yang dialami pendapat kosmologis yaitu ketidakmemadaian wahyu umum seperti dibahas sebelumnya. Kalau diasumsikan bahwa semua pengetahuan (knowledge) dimulai dengan pengalaman inderawi dan karenanya pada masa penghuni memandang dunia tanpa pengetahuan tentang Allah, maka segala kemalangan (calamities) manusia dan keterbatasan serta perubahan di dunia semesta – seberapapun luasnya galaksi-galaksi yang tidak kekurangan – menghalangi kesimpulan tentang satu pribadi Allah yang Mahakuasa dan juga Baik.

Terhadap keberatan-keberatan ini, yang dikemukakan dengan tajam oleh David Hume, mampu ditambahkan kritik khusus formulasi Aristotelian Thomas Aquinas. Tiga keberatan hendak dikemukakan. Pertama, Thomisme tidak mampu bertahan tanpa konsep potentialitas (potentiality) dan aktualitas (actuality), namun Aristotle tidak sempat sukses mengartikannya. Sebaliknya dia [Aristotle] mengilustrasikannya dengan perubahan fenomena kemudian mengartikan perubahan atau gerak (motion) dalam hal aktualitas (actuality) dan potentialitas (potentiality). Untuk memberikan justifikasi terhadap keberatan ini, diperlukan melampaui batas banyak apparatus teknis yang tidak dapat diakomodasi dalam tulisan ini. Dan kalau pembaca menghendaki, dia tidak perlu memberi penekakan pada keberatan pertama.

Kedua, Thomas berargumentasi bahwa kalau kita melacak penyebab gerak (motion), kita tidak mampu meneruskan berlanjut mundur tanpa batas. Argumen yang secara eksplisit diberikan dalam Summa Theologica untuk menyangkali hal itu yaitu kalau hal itu terjadi maka tidak hendak tidak kekurangan Penggerak/Penyebab Pertama (First Mover). Namun argumen yang digunakan sebagai premis ini jugalah yang digunakan sebagai kesimpulan di pengahabisan pendapat. Pendapat ini dimaksudkan untuk membuktikan keberadaan First Mover, namun First Mover ini diasumsikan dahulu sebagai sesuatu yang tidak kekurangan untuk mendorong infinite regress (mundur tidak terbatas). Karenanya jelas pendapat ini yaitu sebuah kekeliruan (fallacy).

Argumen ketiga yang hendak kita bahas semakin kusut. Namun karena terkait dengan hal yang banyak diperbantahkan masa ini, maka pantas diberikan perhatian semakin.

Untuk Thomas Aquinas, tidak kekurangan dua cara mengenal Allah. Pertama melalui teologi negatif. Hal itu tidak hendak kita bahas di sini. Kedua melalui cara analogi. Karena Allah yaitu pure being, tanpa anggota, yang esensiNya identik dengan keberadaanNya, maka istilah-istilah yang dilangsungkan pada Allah tidak mampu digunakan tepat dengan cara yang pas dengan pada masa dilangsungkan pada ciptaan. Kalau dituturkan bahwa seorang manusia bijaksana dan Allah bijaksana, harus diingat bahwa kebijaksanaan manusia yaitu kebijaksanaan yang diperoleh/dipelajari, sementara itu Allah tidak sempat berusaha bisa. Akal manusia tunduk kepada kebenaran; kebenaran yaitu pimpinannya. Namun akal Allah yaitu penyebab kebenaran karena Allah memikirkannya, atau mungkin semakin tidak sewenang-wenang diformulasikan, Allah yaitu kebenaran. Karenanya sebutan akal tidak ada guna yang tepat pas pada manusia dan pada Allah. Hal ini tidak hanya terjadi untuk istilah-istilah di atas, tetapi juga pada pendapat tentang eksistensi. Karena keberadaan Allah yaitu esensiNya – identitas yang tidak mampu diduplikasikan- maka bahkan istilah keberadaan (existence) tidak terjadi pas (univocal) pada Allah dan pada ciptaan.

Pada masa yang pas, Thomas tidak mengakui bahwa istilah-istilah itu juga ada guna berlainan pas sekali (equivocal). Pada masa dituturkan bahwa playboys lead fast lives, while ascetics fast, istilah [fast] dalam kedua anak kalimat itu tidak ada guna yang pas. Walaupun huruf-huruf dan pengucapannya pas, kandungan intelektual dalam kedua anak kalimat itu berlainan pas sekali. Thomas memilihkan jalan tengah selang perbedaan makna (equivocation) dan kesatuan makna ketat (strict univocity) dengan menerangkan bahwa kata-kata dapat digunakan secara analogis; dan dalam hal Allah dan manusia, predikat yang digunakan dilangsungkan secara analogis.

Jika makna analogis dari bijaksana atau keberadaan beranggotakan guna yang pas [bagi manusia dan Allah], maka anggota guna ini pasti mampu dikemukakan dengan memakai satu sebutan yang terjadi untuk keduanya. Sebutan ini mampu digunakan untuk Allah dan untuk manusia. Namun Thomas menekankan bahwa tidak tidak kekurangan sebutan yang mampu dilangsungkan demikian. Implikasinya yaitu semua sisa kemungkinan makna identik di selang kondisi terhapus. Namun kalau memang demikian tidak kekurangannya, bagaimanasebuah argument – argument kosmologis – secara formal syah kalau premis memakai satu sebutan dengan pengertian tertentu dan dalam kesimpulannya memakai sebutan yang pas dengan guna yang berlainan pas sekali? Premis argument kosmologis berbahasa tentang eksistensi penggerak/penyebab (mover) dalam kisaran pengalaman manusia; kesimpulannya terkait dengan keberadaan Penggerak/Penyebab Pertama. Namun, jika sebutan ini tidak mampu dipahami dengan pengertian yang pas, maka argument tersebut keliru/salah (fallacious).

Karena itu, upaya untuk secara Thomistik menghubungkan iman dan daya pikir budi gagal – semakin karena pandangannya tentang daya pikir budi dari pada terhadap iman-; perlu tidak kekurangan upaya lain untuk membela rasionalitas wahyu. [8]

Referensi

  1. ^ a b c d Conway, John Placid, O.P., Father (1911). Saint Thomas Aquinas. London. 
  2. ^ a b c d e f g h i Rev. Vaughan, Roger Bede (1871). The Life and Labours of St. Thomas of Aquin: Vol.I. London. 
  3. ^ Mudji Sutrisno dan F. Budi Hardiman. Para Filsuf Penentu Gerak Zaman. 2005. Jakarta. Penerbit: BPK Gunung Agung
  4. ^ Tony Lane. Runtut Pijar Sejarah Konsep Kristiani. 2005. Jakarta. Penerbit: BPK Gunung Agung
  5. ^ a b c Mortimer J.Adler (ed.). Great Books of The Western World: 17 Aquinas:1. 1952. London. Penerbit: Encyclopedia Britannica, Inc.
  6. ^ a b c Robert Audi (ed.). The Cambridge Dictionary of Philosophy. 1941. New York. Penerbit: Cambridge University Press.
  7. ^ a b Susan Lynn Peterson. Timeline Charts of The Western Church. 1957. Michigan. Penerbit: Zondervan Publishing House
  8. ^ google

Pranala luar



Sumber :
diskusi.biz, kategori-antropologi.gilland-group.com, wiki.edunitas.com, id.wikipedia.org, dan sebagainya.