Abdul Haris Nasution

Abdul Haris Nasution
Ketua Majelis Permusyawaratan Penduduk Sementara ke-2
Masa jabatan
19661972
PresidenSoekarno
Soeharto
Didahului olehChaerul Saleh
Ditukarkan olehIdham Chalid
Menteri Pertahanan dan Keamanan Indonesia ke-12
Masa jabatan
10 Juli 195924 Februari 1966
PresidenSoekarno
Didahului olehDjoeanda Kartawidjaja
Ditukarkan olehSarbini
Informasi pribadi
Lahir3 Desember 1918
Kotanopan, Mandailing Natal, Sumatera Utara, Hindia Belanda
Meninggal5 September 2000
Jakarta, Indonesia
KebangsaanIndonesia
Partai politikNon partai
Suami/istriJohanna Sunarti[1]
AnakHendrianti Saharah
Ade Irma Suryani[1]
ProfesiTentara
AgamaIslam
Dinas militer
Nama julukanPak Nas
PengabdianIndonesia
Dinas/cabangLambang TNI AD.png TNI Tingkatan Darat
Masa dinas1945–1952, 1955–1971
PangkatPdu jendbesartni.png Jenderal Luhur
KomandoPanglima Divisi Siliwangi
PerangRevolusi Nasional Indonesia

Jenderal Luhur TNI (Purn.) Abdul Haris Nasution (lahir di Kotanopan, Sumatera Utara, 3 Desember 1918 – meninggal di Jakarta, 6 September 2000 pada umur 81 tahun) adalah seorang pahlawan nasional Indonesia[2] yang merupakan salah satu tokoh yang menjadi sasaran dalam peristiwa Gerakan 30 September, namun yang menjadi korban adalah putrinya Ade Irma Suryani Nasution dan ajudannya, Lettu Pierre Tendean.

Kehidupan awal

Nasution dilahirkan di Udik Hutapungkut, Kotanopan, Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara,[3] dari keluarga Batak Muslim.[4] Ia adalah anak kedua dan juga merupakan putra tertua dalam keluarganya. Ayahnya adalah seorang pedagang yang menjual tekstil, karet dan kopi, dan merupakan anggota dari organisasi Sarekat Islam. Ayahnya, yang sangat religius, ingin anaknya untuk berlatih di sekolah agama, sementara ibunya ingin dia berlatih kedokteran di Batavia. Namun, sehabis lulus dari sekolah pada tahun 1932, Nasution menerima beasiswa untuk berlatih melatih di Bukit Tinggi.

Pada tahun 1935 Nasution pindah ke Bandung untuk melanjutkan studi, di sana ia tinggal selama tiga tahun. Keinginannya untuk menjadi pengajar secara bertahap memudar saat minatnya dalam politik tumbuh. Dia diam-diam membeli buku yang ditulis oleh Soekarno dan membacanya dengan teman-temannya. Sehabis lulus pada tahun 1937, Nasution lagi ke Sumatera dan melatih di Bengkulu, ia tinggal di dekat rumah pengasingan Soekarno. Dia sekali-sekali bercakap dengan Soekarno, dan mendengarnya berpidato. Setahun akhir Nasution pindah ke Tanjung Raja, dekat Palembang, di mana ia melanjutkan melatih, namun ia menjadi bertambah dan bertambah tertarik pada politik dan militer.[5]

Pada tahun 1940, Jerman Nazi menempati Belanda dan pemerintah kolonial Belanda membentuk korps perwira cadangan yang menerima orang Indonesia. Nasution akhir bergabung, karena ini adalah satu-satunya cara untuk mendapatkan pelatihan militer. Seiring dengan beberapa orang Indonesia lainnya, ia dikirim ke Akademi Militer Bandung untuk pelatihan. Pada bulan September 1940 ia dipromosikan menjadi kopral, tiga bulan akhir menjadi sersan. Dia akhir menjadi seorang perwira di Koninklijk Nederlands-Indische Leger (KNIL).[6] Pada tahun 1942 Jepang menyerbu dan menempati Indonesia. Pada saat itu, Nasution di Surabaya, ia didudukkan di sana untuk mempertahankan pelabuhan. Nasution akhir menemukan jalan lagi ke Bandung dan bersembunyi, karena ia takut ditangkap oleh Jepang. Namun, ia akhir membantu milisi PETA yang dibentuk oleh penjajah Jepang dengan membawa pesan, tetapi tidak benar-benar menjadi anggota.[7]

Revolusi Nasional Indonesia

Divisi Siliwangi

Sehabis Sukarno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, Nasution bergabung dengan militer Indonesia yang akhir dikenal sebagai Tentara Keamanan Penduduk (TKR). Pada bulan Mei 1946, ia diangkatkan Panglima Regional Divisi Siliwangi, yang memelihara keamanan Jawa Barat. Dalam jabatan ini, Nasution mengembangkan teori perang teritorial yang akan menjadi doktrin pertahanan Tentara Nasional Indonesia di masa depan.[8][9]

Pada bulan Januari 1948, Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Belanda menandatangani Akad Renville, membagi Jawa selang daerah yang dikuasai Belanda dan Indonesia. Karena wilayah yang ditempati oleh Belanda termasuk Jawa Barat, Nasution dipaksa untuk memimpin Divisi Siliwangi menyeberang ke Jawa Tengah.[10][11]

Wakil Panglima

Pada 1948 Nasution naik ke jabatan Wakil Panglima TKR. Meskipun hanya berpangkat Kolonel, penunjukan ini membuat Nasution menjadi orang paling kuat kedua di TKR, sehabis Jenderal Soedirman. Nasution segera pergi untuk bertugas dalam peran barunya. Pada bulan April, ia membantu Soedirman mereorganisasi bangun pasukan. Pada bulan Juni, pada sebuah pertemuan, saran Nasution bahwa TKR harus melakukan perang gerilya memerangi Belanda disetujui.

Meski bukanlah Panglima TKR, Nasution memperoleh pengalaman peran sebagai Panglima Tingkatan Bersenjata pada bulan September 1948 saat Peristiwa Madiun. Kota Madiun di Jawa Timur diambil alih oleh mantan Perdana Menteri Amir Syarifuddin dan Musso dari Partai Komunis Indonesia (PKI). Sehabis kabar itu sampai ke Markas TKR di Yogyakarta, diadakan pertemuan selang perwira militer senior. Soedirman sangat ingin menghindari kekerasan dan ingin negosiasi dilangsungkan. Soedirman akhir memberi tugas Letnan Kolonel Soeharto, untuk menegosiasikan kesepakatan dengan komunis. Sehabis melakukan kebangkitannya, Soeharto lagi ke Nasution dan Soedirman untuk melaporkan bahwa segala sesuatu tampak damai. Nasution tidak percaya laporan ini sementara Soedirman sedang sakit. Nasution sebagai Wakil Panglima akhir memutuskan tingkah laku yang dibuat keras, mengirim pasukan untuk mengakhiri pemberontakan komunis di sana.[12][13]

Pada 30 September, Madiun diambil alih oleh pasukan republik dari Divisi Siliwangi. Ribuan anggota partai komunis tewas dan 36.000 lainnya dipenjara. Di selang yang terbunuh adalah Musso pada 31 Oktober, diduga ia terbunuh ketika mencoba melarikan diri dari penjara. Pemimpin PKI lainnya seperti DN Aidit pergi ke pengasingan di Cina.

Pada 19 Desember 1948, Belanda melancarkan serangan sukses di Yogyakarta dan akhir menempatinya. Nasution, bersama-sama dengan TKR dan para komandan lainnya, mundur ke pedesaan untuk memerangi dengan taktik perang gerilya. Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta ditawan Belanda, Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) didirikan di Sumatera. Dalam pemerintahan sementara ini, Nasution diberikan jabatan Komandan Tingkatan Darat dan Teritorial Jawa. Sehabis pengakuan Belanda atas kemerdekaan Indonesia, PDRI mngembalikan kekuasaan kepada Soekarno dan Hatta, dan Nasution lagi ke jabatannya sebagai Wakil Panglima Soedirman.

Era Demokrasi Parlementer

Periode pertama sebagai KSAD

Pada tahun 1950, Nasution mengambil jabatannya sebagai Kepala Staf Tingkatan Darat, dengan T.B. Simatupang menukarkan Soedirman yang telah wafat sebagai Kepala Staf Tingkatan Perang.

Pada tahun 1952, Nasution dan Simatupang memutuskan untuk mengadopsi kebijakan restrukturisasi dan reorganisasi untuk ABRI. Dalam pengaturan ini, Nasution dan Simatupang berkeinginan untuk menciptakan tentara yang bertambah kecil tetapi yang bertambah modern dan profesional.[14] Nasution dan Simatupang, yang keduanya telah dilatih oleh pemerintah kolonial Belanda ingin meninggalkan para prajurit yang dilatih oleh Jepang dan mengintegrasikan bertambah banyak tentara yang dilatih oleh Belanda. Pasukan yang dilatih oleh Jepang, yang diberi segala sesuatu yang diajarkan oleh Bambang Supeno, mulai bercakap menentang kebijakan ini.

Dalam mengadopsi kebijakan mereka, Nasution dan Simatupang mendapat dukungan dari Perdana Menteri Wilopo dan Menteri Pertahanan Hamengku Buwono IX. Namun, Supeno berhasil menemukan dukungan dari kalangan partai oposisi di Dewan Perwakilan Penduduk (DPR). Para anggota DPR akhir mulai membuat perbedaan gagasan mereka tentang restrukturisasi ABRI. Nasution dan Simatupang tidak suka melihat apa yang mereka anggap sebagai campur tangan urusan militer oleh warga sipil.

Peristiwa 17 Oktober

Pada 17 Oktober 1952, Nasution dan Simatupang memobilisasi pasukan mereka dalam unjuk kekuatan. Memprotes campur tangan sipil dalam urusan militer, pasukan Nasution dan Simatupang mengelilingi Istana Kepresidenan dan mengarahkan moncong meriam ke Istana. Permintaan mereka ke Soekarno adalah mengajukan tuntutan pembubaran DPR. Untuk gagasan ini, Nasution dan Simatupang juga memobilisasi demonstran sipil. Soekarno keluar dari Istana Kepresidenan dan meyakinkan baik tentara dan warga sipil untuk pulang. Nasution dan Simatupang telah dikalahkan.

Nasution dan Simatupang akhir diperiksa oleh Jaksa Luhur Suprapto. Pada bulan Desember 1952, mereka berdua kehilangan jabatan mereka di ABRI dan diberhentikan dari ikatan dinas.

Fundamentals of guerrilla warfare

Ketika ia bukan lagi sebagai Kepala Staf Tingkatan Darat, Nasution menulis sebuah buku berjudul Fundamentals of Guerrilla Warfare. Buku ini ditulis berdasarkan pengalaman Nasution sendiri yang berjuang dan mengorganisir perang gerilya selama Perang Kemerdekaan Indonesia. Awalnya buku ini dirilis pada tahun 1953, dan menjadi salah satu buku yang paling banyak dipelajari pada perang gerilya bersama dengan karya-karya Mao Zedong pada subyek yang sama.

Periode kedua sebagai KSAD

Pada 27 Oktober 1955, sehabis tiga tahun pengasingan, Nasution diangkatkan lagi ke jabatan lamanya sebagai Kepala Staf Tingkatan Darat. Dia segera mulai bertugas pada tingkatan darat dan bangunnya dengan mengadopsi pendekatan tiga kali lipat.[15] Pendekatan pertama adalah untuk merumuskan sistem tur tugas, sehingga perwira bisa didudukkan di seluruh negeri dan mendapatkan pengalaman. Pendekatan ini juga akan memproduksi perwira militer yang bertambah profesional, bukannya merasa ikatan pribadi dan loyalitas ke provinsi dan daerah dari mana mereka berasal. Pendekatan kedua Nasution adalah untuk memusatkan pelatihan militer. Semua metode pelatihan pasukan sekarang akan seragam, bukan komandan daerah yang menyiapkan metode pelatihan pasukan mereka sendiri. Pendekatan ketiga dan yang paling penting adalah untuk meningkatkan pengaruh militer dan kekuatan sehingga mampu mengurus dirinya sendiri, bukan mengandalkan keputusan sipil. Nasution tidak memiliki masalah menerapkan dua pendekatan pertama, tetapi ia harus menunggu untuk menerapkan pendekatan ketiga.

Pada 1957, Presiden Soekarno mulai memperkenalkan konsep Demokrasi Terpimpin untuk retorikanya dalam menanggapi kekecewaan dengan pendekatan Demokrasi Parlementer yang telah diadopsi Indonesia sejak November 1945. Dalam hal ini, ia menemukan ikatan yang sama dengan Nasution dan tentara, yang tidak lupa cara di mana warga sipil mengganggu urusan militer pada tahun 1952. Pada 14 Maret 1957, sehabis menerima pengunduran diri Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo dan kabinetnya, Soekarno mengumumkan keadaan darurat.

Langkah ini tidak hanya mengakhiri peran seremonial Soekarno sebagai presiden, tetapi juga meningkatkan pengaruh dan kekuasaan militer. Dalam pengaturan ini, panglima daerah mampu mencampuri urusan sipil seperti ekonomi dan masalah administrasi.[16] Atas perintah dari Soekarno sendiri, tentara juga mulai berpartisipasi dalam politik, memberi konten jabatan yang berkisar dari menteri kabinet hingga gubernur provinsi dan bahkan anggota DPR. Pada bulan Desember 1957, Nasution lebih meningkatkan peran tentara dengan memerintahkan para tentara untuk mengambil alih perusahaan-perusahaan Belanda yang baru dinasionalisasi. Selain meningkatkan peran tentara, langkah ini juga dirancang untuk menyudahi pengaruh PKI yang lebih kuat.

Pada tahun 1958, Nasution menyampaikan pidato terkenal yang akan menjadi dasar bagi doktrin Dwifungsi yang pada rezim Soeharto akan diadopsi. Bercakap di Magelang, Jawa Tengah, Nasution menyatakan bahwa ABRI harus mengadopsi "jalan tengah" dalam pendekatannya terhadap bangsa. Menurut Nasution, ABRI tidak harus di bawah kemudi sipil. Pada saat yang sama, ABRI tidak boleh mendominasi bangsa dengan sedemikian rupa sehingga menjadi sebuah kediktatoran militer.[17]

Pemberontakan PRRI

Pada terakhir 1956, tidak kekurangan tuntutan dari panglima daerah di Sumatera untuk otonomi yang bertambah di provinsi-provinsi mereka. Ketika tuntutan ini tidak dicontoh oleh pemerintah pusat, pasukan mulai memberontak, dan pada awal 1957, telah tegas mengambil alih pemerintahan di Sumatera. Kemudian, pada tanggal 15 Februari 1958, Letkol Ahmad Husein menyatakan pembentukan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Hal ini mendorong pemerintah pusat untuk menggelar pasukan.

Sebagai Kepala Staf Tingkatan Darat, Nasution biasanya telah terlibat dalam memobilisasi pasukan ke Sumatera. Namun, kali ini Kolonel Ahmad Yani yang ditugaskan memimpin pasukan kesana dan berhasil menumpas pemberontakan.

Lagi ke UUD 1945

Nasution mendengar Soekarno membacakan dekret 1959.

Pada 5 Juli 1959, Soekarno mengeluarkan dekret yang menyatakan bahwa Indonesia sekarang akan lagi ke UUD 1945 yang asli. Sistem demokrasi parlementer akan selesai dan Soekarno sekarang adalah Kepala Pemerintahan dan sekaligus Kepala Negara. Nasution diangkatkan menjadi Menteri Pertahanan dan Keamanan di Kabinet Soekarno, sambil terus memegang jabatan sebagai Kepala Staf Tingkatan Darat.

Era Demokrasi Terpimpin

Korupsi di tingkatan darat

Sejak 1956, Nasution telah berusaha untuk memusnahkan korupsi di tingkatan darat, tapi lagi berlangsungnya UUD 1945 tampaknya telah memperbaharui tekadnya dalam hal ini. Dia percaya bahwa tentara harus memberi contoh untuk seluruh masyarakat. Tidak lama sehabis keputusan Soekarno, Nasution mengirim Brigadir Jenderal Sungkono untuk menyelidiki transaksi keuangan dari Kodam IV/Diponegoro dan panglimanya, Kolonel Soeharto.

Temuan Sungkono mengungkapkan bahwa selama menjadi pangdam, Soeharto telah mendirikan yayasan untuk membantu masyarakat setempat. Namun, yayasan tersebut didanai melintas pungutan wajib (bukan sumbangan sukarela) dari industri produksi dan layanan. Soeharto juga terlibat dalam barter ilegal. Dia telah membarter gula dengan beras dari Thailand.

Nasution ingin mengambil tingkah laku yang dibuat terhadap Soeharto dan mengusirnya dari militer. Namun, Wakil Kepala Staf Tingkatan Darat, Gatot Soebroto mengintervensi.[18] Gatot telah menjadikan Soeharto tidak kekurangan di bawah sayapnya ketika ia menjadi Pangdam IV/Diponegoro dan telah melihat bakat dari Soeharto. Gatot menanti Nasution untuk tidak mengusir Soeharto karena bakat Soeharto bisa dikembangkan bertambah lanjut. Nasution mendengarkan saran Gatot. Keputusannya adalah untuk mencopot Soeharto dari jabatannya dan menghukumnya dengan mengirimnya ke Sekolah Staf dan Komando Tingkatan Darat (Seskoad).

Irian Barat

Selama perjuangan kemerdekaan, Soekarno selalu menganggap Irian Barat juga termasuk sebagai Indonesia. Ketika Belanda terakhirnya mengakui kemerdekaan Indonesia, Irian Barat terus menjadi koloni Belanda. Soekarno tidak menyerah dan terus mendorong Irian Barat harus dimasukkan sebagai anggota dari Indonesia melintas PBB dan melintas Konferensi Asia–Afrika, di mana negara-negara yang mempunyai berjanji untuk mendukung klaim Indonesia. Belanda tetap terus bersikeras. Pada tahun 1960, Soekarno sudah kehabisan kesabaran. Pada bulan Juli, ia bertemu dengan penasihat utamanya, termasuk Nasution, dan disepakati bahwa Indonesia akan mengejar kebijakan konfrontasi memerangi Belanda pada masalah Irian Barat.

Sebagai anggota dari persiapan untuk operasi ini, Nasution berpaling ke Soeharto, yang telah membereskan kursus Seskoad pada bulan November 1960. Soeharto, sekarang seorang brigadir jenderal, ditugaskan oleh Nasution untuk membuat unit kekuatan strategis yang akan siaga, siap ketika dipanggil untuk melakukan tingkah laku yang dibuat setiap saat. Soeharto didudukkan bertugas di gugus tugas ini dan pada bulan Maret 1961, Cadangan Umum Tingkatan Darat (Caduad) dibentuk, dengan Soeharto diangkatkan sebagai panglimanya.[19] Caduad pada tahun 1963 berubah nama menjadi Komando Cadangan Strategis Tingkatan Darat (Kostrad).

Pada awal 1962, Nasution dan Yani adalah komandan keseluruhan yang disebut dengan operasi Pembebasan Irian Barat, dengan Soeharto yang didudukkan di Indonesia timur sebagai komandan lapangan.

Rivalitas dengan PKI

Pada saat ini, Soekarno mulai melihat PKI sebagai sekutu politik utamanya, bukan tentara lagi. Meskipun ia telah menetapkan Indonesia nonblok selama Perang Dingin, pernyataan bahwa PRRI diberi bantuan oleh Amerika Serikat, menyebabkan Soekarno mengadopsi sikap anti-Amerika. Dalam hal ini, ia memiliki PKI sebagai sekutu alami. Bagi PKI, bersekutu dengan Soekarno hanya akan menambah momentum politik sebagai pengaruh mereka terus tumbuh dalam politik Indonesia.

Nasution mewaspadai pengaruh PKI atas Soekarno dan pada gilirannya, Soekarno menyadari bahwa Nasution tidak suka tentang pengaruh PKI dan mengambil langkah untuk melemahkan kekuasaannya. Pada bulan Juli 1962, Soekarno mereorganisasi bangun ABRI. Status kepala cabang Tingkatan Bersenjata sekarang akan ditingkatkan dari kepala staf menjadi panglima. Sebagai panglima, kepala cabang tingkatan bersenjata akan memiliki kekuatan bertambah dan hanya akan menjawab untuk Soekarno sebagai Panglima Tertinggi ABRI. Yang membantu Soekarno sebagai Panglima Tertinggi ABRI adalah kepala staf ABRI. Soekarno menunjuk Nasution untuk jabatan kepala staf ABRI[20] dan menunjuk Yani sebagai panglima tingkatan darat. Dengan melakukan ini, Soekarno menurunkan kekuatan Nasution, sebagai kepala staf ABRI ia hanya bertanggung jawab untuk hal-hal administratif saja dan ia tanpa pasukan.

Sekarang dalam jabatan tak bertenaga, Nasution mulai mengingatkan cara lain untuk menyudahi momentum PKI. Saat yang tepat datang pada Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Penduduk Sementara (MPRS) pada Mei 1963. Nasution, Partai Nasional Indonesia (PNI) serta anggota TNI yang mempunyai mengajukan mosi bahwa Soekarno ditunjuk sebagai presiden seumur hidup.[21] Gagasan di balik ini adalah bahwa dengan ditunjuknya Soekarno sebagai presiden seumur hidup, maka tidak akan tidak kekurangan pemilu, dan tanpa pemilu, PKI tidak akan bisa mendapatkan berkuasa tidak peduli berapa banyak partai tumbuh. Akhirnya, Soekarno menjadi presiden seumur hidup.

Perbedaan dengan Yani

Nasution segera mulai mengembangkan sikap permusuhan terhadap Yani. Keduanya, baik Nasution dan Yani sama-sama anti-komunis, tapi sikap mereka terhadap Soekarno berbeda. Nasution mengkritik Soekarno yang dianggap mendukung PKI, sementara Yani, seorang loyalis Soekarno, mengambil sikap yang bertambah lembut. Nasution mengkritik sikap lembut Yani dan hubungan selang keduanya memburuk. Untuk membuat keadaan menjadi bertambah buruk, Yani mulai menukarkan komandan daerah yang dekat dengan Nasution dengan mereka yang dekat dengan dirinya.

Pada 13 Januari 1965, sebuah delegasi dari pejabat yang mewakili Nasution dan Yani bertemu dalam upaya untuk mendamaikan perbedaan selang dua jenderal itu. Pertemuan itu gagal mengusahakan Yani untuk menjauhkan diri dari Soekarno, tapi delegasi sepakat untuk menyelenggarakan seminar di mana mereka bisa bercakap tentang iklim politik saat ini dan peran tentara dalam politik.

Sebuah dokumen beredar di Jakarta. Dijuluki Dokumen Gilchrist, dokumen itu adalah surat yang mengaku datang dari Duta Luhur Britania Raya Andrew Gilchrist, dan mengistilahkan "teman-teman tentara lokal kami". Kecurigaan pun langsung dilemparkan pada tentara yang ingin memulai kudeta. Meskipun Yani dengan cepat menyangkal tuduhan itu, PKI mulai menjalankan kampanye kotor, mengklaim bahwa Dewan Jenderal yang berencana menggulingkan presiden. Sebagai perwira paling senior di Tingkatan Darat, Nasution dan Yani terlibat untuk menjadi anggota dari Dewan ini.

G30S dan Transisi ke Orde Baru

Percobaan penculikan

Nasution yang kakinya terluka sedang membahas situasi di markas Kostrad pada malam tanggal 1 Oktober 1965

Pada pagi hari 1 Oktober 1965, pasukan yang mengata diri mereka Gerakan 30 September (G30S) mencoba untuk menculik tujuh perwira Tingkatan Darat anti-komunis termasuk Nasution.[22] Letnan Arief yang memimpin pasukan untuk menangkap Nasution, dan timnya yang terdiri dari empat truk dan dua mobil militer berjalan menyusuri Jalan Teuku Umar yang sepi pada pukul 4:00 pagi. Rumah Nasution di No 40, rumah sederhana dengan satu lantai. Penjaga rumah di pos jaga di luar rumah melihat yang dikendarai yang datang, tapi sehabis melihat orang-orang itu tentara dia tidak curiga dan tidak menelepon atasannya. Sersan Iskaq, yang bertanggung jawab mengamankan rumah saat itu. Sersan itu tidak kekurangan di ruang jaga di ruang depan bersama dengan setengah lusin tentara, beberapa di selangnya sedang tidur. Seorang penjaga sedang tidur di taman depan dan satu lagi sedang bertugas di anggota belakang rumah. Dalam sebuah pondok yang terpisah, dua ajudan Nasution sedang tidur, seorang letnan muda bernama Pierre Tendean, dan ajun komisaris polisi Hamdan Mansjur.[23]

Sebelum alarm menyala, pasukan Letnan Arief telah melompat pagar dan menduduki para penjaga yang mengantuk di pos jaga dan ruang jaga. Lainnya masuk dari seluruh sisi rumah dan menutupinya dari belakang. Lebih kurang lima belas tentara masuk ke rumah. Nasution dan istrinya terganggu oleh nyamuk dan terjaga. Mereka tidak mendengar para penjaga yang telah dikuasai tapi Nyonya Nasution mendengar pintu disingkap paksa. Dia bergerak dari tempat tidur untuk memeriksa dan membuka pintu kamar tidur, ia melihat tentara Cakrabirawa (pengawal presiden) dengan senjata siap menembak. Dia menutup pintu dan berteriak memberitahu suaminya. Nasution ingin melihatnya dan ketika dia membuka pintu, tentara menembak ke arahnya. Dia melemparkan dirinya ke lantai dan istrinya membanting dan mengunci pintu. Orang-orang di sisi lain mulai menghancurkan pintu bawah dan meninggalkan tembakan-tembakan ke kamar tidur. Nyonya Nasution mendorong suaminya keluar melintas pintu lain dan menyusuri koridor ke pintu samping rumah. Nasution berlari ke halaman rumahnya menuju dinding yang memisahkan halamannya dengan Kedutaan Luhur Irak. Dia ditemukan oleh tentara yang akhir menembaknya tapi meleset. Memanjat dinding, Nasution mengalami patah pergelangan kaki saat ia jatuh ke halaman Kedutaan Irak untuk bersembunyi. Dia tidak dikejar.[24]

Seluruh yang menghuni rumah terjaga dan ketakutan oleh penembakan itu. Ibu dan adinda Nasution, Mardiah, juga tinggal di rumah dan berlari ke kamar tidur Nasution. Mardiah membawa putri Nasution yang berusia lima tahun, Irma, dari tempat tidurnya, memeluk dekat anak itu dalam pelukannya, dan mencoba lari ke tempat aman. Saat ia berlari, seorang kopral dari penjaga istana meninggalkan tembakan ke arahnya melintas pintu. Irma tertembak dan menerima tiga peluru di punggungnya. Dia meninggal lima hari akhir di rumah sakit.[24] Putri sulung Nasution, Janti yang berusia 13 tahun, dan perawatnya Alfiah sudah lari ke rumah pondok ajudan Nasution dan bersembunyi di bawah tempat tidur.[24]

Tendean mengambil senjatanya dan lari dari rumah, tapi ia tertangkap dalam beberapa langkah. Dalam kegelapan, ia membuat kealpaan dan sudah tidak kekurangan di bawah todongan senjata.[25] Sehabis mendorong suaminya keluar rumah, Nyonya Nasution lari ke dalam dan membawa putrinya yang terluka. Saat ia menelepon dokter, pasukan Cakrabirawa menuntutnya supaya memberitahu mereka dimana keberadaan suaminya. Kabarnya dia melakukan diskusi singkat sambil marah-marah dengan Arief dan mengatakan kepadanya bahwa Nasution sedang keluar kota selama beberapa hari ini.[26] Pasukan itu pun pergi dari rumah Nasution dan membawa Tendean pergi dengan mereka. Nyonya Nasution membawa putrinya yang terluka ke rumah sakit pusat tingkatan darat. Komandan garnisun Jakarta, Mayor Jenderal Umar Wirahadikusumah, bergegas ke rumah Nasution.[26]

Karel Satsuit Tubun, seorang penjaga di rumah Wakil Perdana Menteri Indonesia, Johannes Leimena yang juga merupakan tetangga Nasution, mendengar keributan dan berjalan ke rumah Nasution. Dalam kebingungan penjaga itu ditembak dan dibunuh. Pembunuhan penjaga itu tidak direncanakan.[26]

Nasution terus bersembunyi di halaman tetangganya sampai pukul 06:00 ketika ia lagi ke rumahnya dalam keadaan patah pergelangan kaki. Nasution akhir menanti ajudan untuk membawanya ke Departemen Pertahanan dan Keamanan karena dia pikir itu akan bertambah aman di sana. Nasution akhir mengirim pesan kepada Soeharto di markas Kostrad, mengatakan kepadanya bahwa ia masih hidup dan aman. Sehabis mengetahui bahwa Soeharto mengambil alih komando tentara, Nasution akhir memerintahkan dia untuk mengambil langkah-langkah seperti mencari tahu keberadaan presiden, menghubungi panglima tingkatan laut R.E. Martadinata, komandan korps marinir R. Hartono serta kepala kepolisian Soetjipto Joedodihardjo, dan mengamankan Jakarta dengan menutup semua jalan yang mengarah ke sana.[27] Tingkatan udara tidak termasuk karena Panglima Omar Dhani dicurigai sebagai simpatisan G30S. Soeharto segera mengintegrasikan perintah tersebut ke dalam rencananya untuk mengamankan kota.

Lebih kurang pukul 14:00, sehabis Gerakan 30 September mengumumkan pembentukan Dewan Revolusi, Nasution mengirim perintah lain untuk Soeharto, Martadinata dan Joedodihardjo. Dalam rangka itu, Nasution mengatakan bahwa ia yakin Soekarno telah diculik dan dibawa ke markas G30S di Halim. Karena itu ia memerintahkan ABRI untuk membebaskan presiden, memulihkan keamanan Jakarta, dan yang paling penting, menunjuk Soeharto sebagai kepala operasi.[28] Sama seperti Soeharto yang mulai bertugas, namun, pesan datang dari Soekarno di Halim. Soekarno telah memutuskan untuk menunjuk Mayjen Pranoto Reksosamodra – loyalis Soekarno – untuk memberi konten jabatan Panglima Tingkatan Darat dan sekarang ingin Pranoto untuk datang menemuinya. Soeharto tidak mengijinkan Pranoto pergi tapi ia tahu bahwa Soekarno tidak akan menyerah untuk mencoba memanggil Pranoto. Untuk memperkuat jabatan tawar, Soeharto menanti Nasution untuk datang ke Markas Kostrad.

Nasution tiba di markas Kostrad lebih kurang pukul 6 sore, Soeharto mulai mengerahkan pasukan Sarwo Edhie Wibowo untuk mengamankan Jakarta dari Gerakan 30 September. Di sana, Nasution terakhirnya menerima pertolongan pertama untuk pergelangan kakinya yang patah. Sehabis Jakarta aman, Martadinata datang ke markas Kostrad dengan salinan Keputusan Presiden yang menunjuk Pranoto. Sehabis melihat keputusan tersebut, Soeharto mengundang Martadinata dan Nasution ke ruangan untuk membahas situasi.

Nasution menanti Martadinata bagaimana caranya presiden datang untuk menunjuk Pranoto. Martadinata menjawab bahwa pada sore hari ia, Joedodihardjo, dan Dhani telah menghadiri pertemuan dengan Soekarno di Halim untuk memutuskan siapa yang harus menjadi Panglima Tingkatan Darat sehabis Yani tewas. Pertemuan telah memutuskan bahwa Pranoto harus menjadi Panglima Tingkatan Darat. Nasution mengatakan bahwa penunjukan Soekarno tidak dapat diterima karena penunjukan datang ketika Soeharto telah memulai operasi.[29] Nasution dan Soeharto akhir mengundang Pranoto dan meyakinkannya untuk menunda menerima pengangkatannya sebagai Panglima Tingkatan Darat sampai sehabis Soeharto beres menumpas percobaan kudeta.

Dengan pasukan Sarwo Edhie, Jakarta dengan cepat berhasil diamankan. Soeharto akhir mengalihkan perhatiannya ke Halim dan mulai membuat persiapan untuk menyerang pangkalan udara. Untuk membantunya, Nasution memerintahkan tingkatan laut dan polisi untuk membantu Soeharto dalam menumpas Gerakan 30 September. Untuk tingkatan udara, Nasution mengeluarkan perintah mengatakan bahwa mereka tidak akan dihukum atas pembangkangan jika mereka tidak menerima untuk mematuhi perintah Dhani. Pada pukul 06:00 tanggal 2 Oktober, Halim berhasil diambil alih dan Gerakan 30 September secara resmi dikalahkan.

Kehilangan kesempatan

Meskipun Soeharto telah menjadi tokoh kunci pada 1 Oktober, banyak perwira Tingkatan Darat lainnya masih berpaling ke Nasution untuk kepemimpinan dan mengharapkannya untuk mengambil kontrol yang bertambah memilihkan situasi. Namun, Nasution tampak ragu-ragu dan perlahan tapi pasti dukungan mulai menjauh darinya. Mungkin gagasan ini adalah karena ia masih berduka atas putrinya, Ade Irma, yang meninggal pada tanggal 6 Oktober.

Dalam beberapa ahad pertama sehabis G30S, Nasution-lah yang bertali-tali melobi Soekarno untuk menunjuk Soeharto sebagai Panglima Tingkatan Darat. Soekarno, yang sehabis 1 Oktober tetap menginginkan Pranoto sebagai pimpinan tingkatan darat, awalnya menjadikan Soeharto sebagai Panglima Kopkamtib, tetapi dengan lobi bertali-tali yang dilangsungkan Nasution, Soekarno terakhirnya dibujuk dan pada tanggal 14 Oktober 1965, ditunjuklah Soeharto sebagai Panglima Tingkatan Darat.

Sebuah peluang emas datang ke Nasution pada bulan Desember 1965 ketika tidak kekurangan pembicaraan tentang penunjukkan dirinya sebagai wakil presiden untuk membantu Soekarno dalam masa ketidakpastian.[30] Nasution tidak memanfaatkan ini dan memilih untuk tidak melakukan apa-apa. Soeharto mengambil inisiatif pada awal 1966 dengan mengeluarkan pernyataan yang mengatakan bahwa tidak tidak kekurangan kebutuhan untuk memberi konten kursi wakil presiden yang kosong.

Pada 24 Februari 1966, Nasution tidak lagi menjabat sebagai Menteri Pertahanan dan Keamanan dalam perombakan kabinet. Jabatan Kepala Staf ABRI juga dihapuskan.

Pada tahap ini, harapan bahwa Nasution akan melakukan sesuatu sekarang telah hilang para perwira militer dan gerakan mahasiswa tidak kekurangan di belakang Soeharto. Namun demikian, ia terus menjadi tokoh yang dihormati, banyak perwira militer megunjunginya di hari-hari menjelang penandatanganan Supersemar, dokumen penyerahan kewenangan dari Soekarno ke Soeharto. Bahkan, ketika Soeharto akan pergi Markas Kostrad untuk menunggu pengiriman Supersemar, dia menelepon Nasution dan menanti restunya. Istri Nasution memberi restu atas nama Nasution, yang tidak mempunyai.

Indra politik Nasution tampaknya telah lagi sehabis Soeharto menerima Supersemar. Itu mungkin karena dia yang pertama kali menyadari bahwa Supersemar tidak hanya memberikan kekuasaan darurat kepada Soeharto tetapi juga memberinya kontrol eksekutif. Pada 12 Maret 1966, sehabis Soeharto melarang keberradaan PKI, Nasution menyarankan kepada Soeharto bahwa ia membentuk kabinet darurat.[31] Soeharto, masih ingat-ingat tentang apa yang dia bisa atau tidak bisa lakukan dengan kekuatan barunya, karena pembentukan kabinet adalah tanggung jawab presiden. Nasution mendorong Soeharto, berjanji untuk memberikan dukungan penuh tetapi Soeharto tidak menanggapi dan diskusi selesai tahu-tahu.

Ketua MPRS

Nasution memberi selamat kepada Jenderal Soeharto atas pengangkatannya sebagai acting presiden, 12 Maret 1967

Dengan kekuatan barunya, Soeharto mulai membersihkan pemerintahan dari pengaruh komunis. Sehabis penangkapan 15 menteri kabinet pada 18 Maret 1966, Soeharto mengincar MPRS, mencopot anggota yang dianggap simpatisan komunis dan mewakilinya dengan anggota yang bertambah bersimpati pada tujuan militer. Selama pembersihan, MPRS juga kehilangan ketuanya, Chaerul Saleh, dan tidak kekurangan kebutuhan untuk memberi konten jabatan yang kosong.

Nasution adalah pilihan yang sangat populer karena semua fraksi di MPRS menominasikan dia untuk jabatan Ketua MPRS. Namun, Nasution menunggu sampai Soeharto menyatakan dukungan untuk pencalonannya sebelum menerima nominasi.

Pada 20 Juni 1966, Sidang Umum MPRS dimulai. Nasution menetapkan Supersemar sebagai perkara pertama yang akan dibahas dalam daftar dengan berjalan ke aula pertemuan dengan dokumen yang sebenarnya. Keesokan harinya, pada 21 Juni, MPRS meratifikasi Supersemar, sehingga ilegal bagi Soekarno untuk menariknya. Pada 22 Juni, Soekarno menyampaikan pidato berjudul Nawaksara (Sembilan Poin) di depan sidang. Nasution dan anggota MPRS lainnya merasa kecewa. Soekarno tidak mengistilahkan apa-apa tentang G30S. Sebaliknya, Soekarno tampaknya memberikan penjelasan tentang pengangkatannya sebagai presiden seumur hidup, rencana kerjanya sebagai presiden, dan bagaimana Konstitusi bertugas dalam praktik. MPRS tidak menerima untuk meratifikasi pidato ini.

Selama dua ahad ke depan, Nasution sibuk memimpin Sidang Umum MPRS. Di bawah kepemimpinannya, MPRS mengambil langkah-langkah seperti melarang Marxisme-Leninisme, mencabut keputusan Soekarno sebagai presiden seumur hidup, dan memerintahkan ronde pilihan legislatif yang akan diselenggarakan pada bulan Juli 1968. Sidang Umum MPRS juga meningkatkan kekuatan Soeharto dengan secara resmi memerintahkannya untuk merumuskan kabinet baru. Sebuah keputusan juga diresmikan yang menyatakan bahwa jika presiden tidak mampu melaksanakan tugasnya, ia kini akan ditukarkan oleh pemegang Supersemar bukan wakil presiden.

Tahun 1966 pun berlalu, Soekarno lebih defensif dan popularitasnya lebih menurun. Soeharto, yang tahu bahwa kemenangan politiknya sudah dekat, turun untuk melakukan peran orang Jawa yang sopan dengan bertali-tali memberikan kata-kata meyakinkan kepada Soekarno dan membelanya dari para pemrotes. Jenderal lainnya seperti Nasution tidak penuh belas kasihan, Nasution menyatakan bahwa Soekarno harus bertanggung jawab atas situasi Indonesia yang mengerikan pada saat itu. Nasution juga menyerukan supaya Soekarno dibawa ke pengadilan.

Pada 10 Januari 1967, Nasution dan MPRS bersidang lagi dan Soekarno menyerahkan laporannya (dia tidak menyampaikan hal itu secara pribadi sebagai pidato) yang disandarkan bisa mengatasi masalah G30S. Dijuluki Nawaksara Tambahan, laporan itu bercakap tentang desakan Soekarno mengata G30S dengan Gerakan 1 Oktober (Gestok). Pada G30S, Soekarno mengatakan bahwa PKI membuat kealpaan luhur pada pagi hari 1 Oktober, tetapi juga menambahkan bahwa hal ini disebabkan oleh kecerdikan neokolonialis. Soekarno menambahkan bahwa jika ia akan disalahkan atas G30S, Menteri Pertahanan dan Keamanan pada saat itu juga harus disalahkan karena tidak melihat G30S datang dan menyudahinya sebelum terjadi.[32] Laporan sekali lagi didorong oleh MPRS.

Pada bulan Februari 1967, DPR menyerukan Sidang Khusus MPRS pada bulan Maret untuk mewakili Soekarno dengan Soeharto. Soekarno tampaknya pasrah akan nasibnya, terakhirnya pada 12 Maret 1967, Soekarno secara resmi dilengserkan dari kekuasaan oleh MPRS. Nasution akhir menyumpah Soeharto ke tampuk kekuasaan sebagai presiden sementara. Setahun akhir pada 27 Maret 1968, Nasution memimpin ronde pilihan dan pelantikan Soeharto sebagai Presiden penuh.

Orde Baru

Jatuh dari kekuasaan

Meskipun bantuan dari Nasution memberinya kesempatan naik ke kekuasaan, Soeharto melihat Nasution sebagai saingan dan segera mulai bertugas untuk menyingkirkannya dari kekuasaan. Pada tahun 1969, Nasution dilarang bercakap di Seskoad dan Akademi Militer.[33] Pada tahun 1971, Nasution tahu-tahu diberhentikan dari dinas militer, ketika berusia 53, dua tahun bertambah cepat dari usia pensiun yakni 55 tahun. Nasution terakhirnya pada tahun 1972 ditukarkan oleh Idham Chalid sebagai Ketua MPRS. Kejatuhan Nasution secara drastis tersebut membuatnya mendapatkan julukan sebagai Gelandangan Politik.

Gelar

Pada 5 Oktober 1997, bertepatan dengan hari ABRI, Nasution dianugerahi pangkat Jenderal Luhur bintang lima. Nasution tutup usia di RS Gatot Soebroto pada 6 September 2000 dan dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta.

Galeri foto

Lihat pula

Sumber rujukan

  1. ^ a b Biography of Johanna Nasution, 1981 Ramon Magsaysay Award for Public Service, Magsaysay Awardees Digital Collection.
  2. ^ Daftar Nama Pahlawan Nasional Republik Indonesia, Departemen Sosial RI Online, Januari 2010. Diakses 26 Agustus 2012.
  3. ^ Bachtiar, Harsja W. (1998). Siapa Dia?: Perwira Tinggi Tentara Nasional Indonesia Tingkatan Darat [Who's Who?: Senior Officers of the Indonesian Army] (dalam bahasa Indonesia). Jakarta: Penerbit Djambatan. hlm. 220. ISBN 978-979-428-100-0.
  4. ^ Conboy, Kenneth J.; Morrison, James (1999). Feet to the fire: CIA covert operations in Indonesia, 1957–1958. Naval Institute Press. hlm. 3. ISBN 978-1-55750-193-6.
  5. ^ Prsetyo & Hadad 1998, hlm. 21–34.
  6. ^ Keegan, John (1979). World Armies. hlm. 314. ISBN 978-0-333-17236-0.
  7. ^ Prsetyo & Hadad 1998, hlm. 35–41.
  8. ^ "Abdul Haris Nasution". pdat.co.id. Diakses 4 November 2006.
  9. ^ Cribb, Robert (October 2001). "Military strategy in the Indonesian revolution: Nasution's concept of "Total People's War" in theory and practice". War & Society 19 (2): 143–154. doi:10.1179/072924701799733190.
  10. ^ Kahin, George McTurnan (1952). Nationalism and Revolution in Indonesia. Cornell University Press. hlm. 233. ISBN 0-8014-9108-8.
  11. ^ Ricklefs 1982, hlm. 215.
  12. ^ Ricklefs 1982, hlm. 217.
  13. ^ Elson 2001, hlm. 26.
  14. ^ Sujatmoko, Bambang (8 Maret 1997). "Dwifungsi Di Tiga Zaman". Gatra. Diakses 4 November 2006.
  15. ^ Elson 2001, hlm. 57–58.
  16. ^ Elson 2001, hlm. 61.
  17. ^ Sumbogo, Priyono B. (8 Maret 1997). "Jalan Tengah". Gatra.
  18. ^ Elson 2001, hlm. 73.
  19. ^ Elson 2001, hlm. 79.
  20. ^ Wibisono, Christianto (20 Januari 2004). "Hentikan "Bharata Yuda" 2004". Suara Pembaruan. Diakses 4 November 2006. [pranala nonaktif]
  21. ^ Utomo, Sumaun. "Fakta Kebenaran Korban Tragedi Peristiwa 65". A. Umar Said Official Website. Diarsipkan dari aslinya pada tanggal 1 November 2006. Diakses 4 November 2006.
  22. ^ Hughes 2002, hlm. 40–42.
  23. ^ Hughes 2002, hlm. 40.
  24. ^ a b c Hughes 2002, hlm. 41.
  25. ^ Hughes 2002, hlm. 41–42.
  26. ^ a b c Hughes 2002, hlm. 42.
  27. ^ Fic 2005, hlm. 268.
  28. ^ Fic 2005, hlm. 269.
  29. ^ Fic 2005, hlm. 270–271.
  30. ^ Hughes 2002, hlm. 215.
  31. ^ Suwalu, Sulangkung (8 Mei 1999). "Peran Nasution Dalam Antar Soeharto Ke Puncak Kekuasaan". munindo.brd.de. Diarsipkan dari aslinya tanggal 27 September 2007. Diakses 4 November 2006.
  32. ^ "Transcript of Nawaksara Supplementary". Tempo. 5 April 1997. Diakses 4 November 2006.
  33. ^ Pour, Julius (7 September 2000). "Pasang Surut Jenderal yang Selalu Terpinggirkan". Kompas. Diakses 8 November 2014.

Sumber sumber rujukan

  • Elson, Robert (2001). Suharto: A Political Biography. UK: The Press Syndicate of the University of Cambridge. ISBN 978-0-521-77326-3.
  • Fic, Victor M. (2005). Kudeta 1 Oktober 1965: Sebuah Studi Tentang Konspirasi (dalam bahasa Indonesia) (ed. Indonesia). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. ISBN 978-979-461-555-3.
  • Hughes, John (2002) [1967]. The End of Sukarno: A Coup That Misfired: A Purge That Ran Wild (ed. ke-3). Singapura: Archipelago Press. ISBN 978-981-4068-65-9.
  • Prsetyo, Adi; Hadad, Toriq, ed. (1998). Jenderal Tanpa Pasukan, Politisi Tanpa Partai: Kebangkitan Hidup A.H. Nasution (dalam bahasa Indonesia). Jakarta: Pusat Data dan Analisa Tempo (PDAT). ISBN 978-979-9065-02-5.
  • Ricklefs, Merle Calvin (1982). A History of Modern Indonesia (ed. reprint). Macmillan Southeast Asian. ISBN 978-0-333-24380-0.

Bacaan bertambah lanjut

  • Fundamentals of Guerrilla Warfare. New York: Praeger, 1965
  • C.L.M. Penders and Ulf Sundhaussen, Abdul Haris Nasution: a political biography (St. Lucia; New York: University of Queensland Press, 1985)
  • McElhatton, Emmet (8 Mei 2008). "Guerrilla Warfare and the Indonesian Strategic Psyche". Small Wars Journal. Diakses 20 Agustus 2014.


Jabatan politik
Didahului oleh:
Chaerul Saleh
Ketua MPRS
1966–1972
Dilangsungkan oleh:
Idham Chalid
Didahului oleh:
Djoeanda Kartawidjaja
Menteri Pertahanan dan Keamanan
1959–1966
Dilangsungkan oleh:
M. Sarbini
Jabatan militer
Didahului oleh:
Bambang Utoyo
Kepala Staf TNI Tingkatan Darat
1955–1962
Dilangsungkan oleh:
Ahmad Yani
Didahului oleh:
G.P.H. Djatikoesoemo
Kepala Staf TNI Tingkatan Darat
1949–1952
Dilangsungkan oleh:
Bambang Soegeng
Jabatan baruPangdam Siliwangi
1946—1948
Dilangsungkan oleh:
Daan Jahja
Di bawah ini adalah daftar lengkap dan resmi 163 tokoh yang telah ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia.
Politik
Abdul Halim · Achmad Soebardjo · Adam Malik · Adenan Kapau Gani · Alimin · Andi Sultan Daeng Radja · Arie Frederik Lasut · Djoeanda Kartawidjaja · Ernest Douwes Dekker · Fatmawati · Ferdinand Lumbantobing · Frans Kaisiepo · Gatot Mangkoepradja · Hamengkubuwana IX · Herman Johannes · Idham Chalid · Ida Anak Luhur Gde Luhur · Ignatius Joseph Kasimo Hendrowahyono · I Gusti Ketut Pudja · Iwa Koesoemasoemantri · Izaak Huru Doko · J. Leimena · Johannes Abraham Dimara · Kusumah Atmaja · L. N. Palar · Mangkunegara I · Maskoen Soemadiredja · Mohammad Hatta · Mohammad Husni Thamrin · Moewardi · Teuku Nyak Arif · Nani Wartabone · Oto Iskandar di Nata · Radjiman Wedyodiningrat · Rasuna Said · Saharjo · Samanhudi · Soekarni · Soekarno · Sukarjo Wiryopranoto · Soepomo · Soeroso · Soerjopranoto · Sutan Syahrir · Syafruddin Prawiranegara · Tan Malaka · Tjipto Mangoenkoesoemo · Oemar Said Tjokroaminoto · Wahid Hasjim · Zainul Arifin
Militer
Kemerdekaan
Revolusi
Kebangkitan
Sastra
Seni
Edukasi
Integrasi
Pers
Pembangunan
Agama
Perjuangan


Sumber :
kategori-antropologi.kurikulum.org, wiki.edunitas.com, id.wikipedia.org, sepakbola.biz, dsb.