Gereja Menonit

Gereja Menonit yaitu suatu kelompok gereja Kristen Protestan yang tergolong di dalam kelompok Gereja-gereja Anabaptis, yaitu gereja-gereja yang tidak menerima baptisan anak dan hanya mengakui baptisan orang dewasa yang sudah membicarakan imannya. Gereja ini bertumbuh dari saat Reformasi karena para pengikutnya merasa bahwa kebangkitan pembaruan yang dilaksanakan selang lain oleh Martin Luther dan Yohanes Calvin kurang radikal. Maka pula kebangkitan ini dinamakan juga kelompok Reformasi Radikal.

Sejarah

Gereja ini dimulai oleh seorang bekas imam Katolik yang bernama Menno Simons yang bersumber dari Belanda. Menno Simons dilahirkan di kota Witmarsum di Friesland pada tahun 1496, dan meninggal pada tahun 1561. Simons disediakan sejak saat mudanya untuk terjadi imam Katolik dan ditahbiskan pada tahun 1524. Dia mulai melayani sebuah jemaat di kota Pinjum. Tujuh tahun seterusnya dia kembali dan melayani di kota kelahirannya, Wirmarsum. Sebagai seorang imam dia menjalankan tugas-tugas rutinnya seperti melayani misa, menerima pengakuan dosa, membaptiskan anak-anak yang baru kelahiran dan berdoa bagi umatnya. Namun Simons tidak pernah membaca Alkitab, meskipun dia melintas ronde edukasi dan latihan untuk membaca dan menulis dalam bahasa Latin di biaranya. Simons dengan sengaja menghindari Alkitab karena rasa takut. Sebagai seorang Katolik, dia diajar bahwa hanya Paus sajalah yang dapat menafsirkan Alkitab tidak kealpaan.

Pergumulan Pertama

Pada tahun pertama pelayanannya sebagai seorang imam, Simons mulai meragukan nasihat tentang infalibilitas paus, pada saat dia memimpin misa. Nasihat Katolik tentang transubstansiasi membicarakan bahwa ketika roti dan anggur diberkati, kedua elemen itu sungguh-sungguh berubah terjadi tubuh dan darah Yesus. Simons setuju dengan para Reformator yang lain bahwa elemen-elemen itu “mewakili” namun tidak sungguh-sungguh “berubah” terjadi tubuh dan darah Kristus.

Menurut tradisi, mula-mula Simons menganggap semua ini sebagai ujian iblis. Maka Simons mengambil sakramen pengakuan dosa dengan harapan bahwa Allah akan menyingkirkan beban ini. Namun apa yang terjadi ialah beban itu malah lebih bertambah dan berkembang terjadi suatu pergumulan batin yang dicoba diselesaikannya dengan sungguh-sungguh membaca Kontrak Baru. Namun lebih mendalam dia membaca dan mempelajari Alkitab, dia terjadi lebih yakin bahwa doktrin itu tidak mempunyai landasan alkitabiah. Pada saat itulah Simons merasa harus memilih selang otoritas Alkitab dan otoritas Gereja.

Pada saat itu Simons menemukan tulisan-tulisan Martin Luther dan berdasarkan hal itu, akhir-akhirnya dia mengakui bahwa Firman Allah lebih berwibawa dibandingkan dengan perintah-perintah dan praktik manusia. Luther dengan tegas memberi pelajaran ke bahwa hukum-hukum manusia tidak dapat mengutuk manusia untuk paling lama. Manusia tidak memberikan anugerah ataupun menyingkirkannya. Oleh maka perlahan-lahan Simons menyingkirkan doktrin transubstansiasi, meskipun dia tidak berubah melayankan sakramen tersebut pada misa.

Pengalaman Simons ini tidak menciptakannya membelakangi Gereja Katolik. Namun hal ini telah memunculkan di dalam dirinya keraguan terhadap kewibawaan Gereja.

Pergumulan Kedua

Pada tanggal 20 Maret 1531, Sicke Freerks dihukum mati di Leeuwarden karena pada tahun sebelumnya dia menerima baptisan ulang. Simons merasa sangat ketakutan dan dibebani dengan begitu banyak pertanyaan baru. Gagasan tentang baptisan ulang ini yaitu sesuatu yang mentah-mentah baru baginya. Mengapa orang mau melaksanakan baptisan ulang? Apakah artinya? Apakah nasihat Gereja Katolik tentang baptisan juga keliru? Simons kembali berpaling untuk tulisan-tulisan Luther, namun Luther mendukung baptisan anak-anak dan membicarakan bahwa anak-anak mempunyai “iman yang tersembunyi” sama halnya dengan warga dewasa yang percaya yang diselamatkan sementara mereka tidur.

Para reformator yang lain juga mendukung baptisan anak-anak, meskipun praktik itu sendiri tidak dengan jelas disebutkan di dalam Alkitab. Misalnya, Martin Butzer membicarakan bahwa baptisan anak yaitu akad orangtua untuk mengasuh anak itu sesuai dengan kehendak Allah di tengah keluarganya. Henry Bullinger membandingkan baptisan anak dengan sunat dalam Kontrak Lama. Namun semua itu kurang meyakinkan Simons. Dia tidak berubah berdiskusi, bagaimana sesungguhnya nasihat Kontrak Baru tentang baptisan anak-anak? Apakah yang sesungguhnya diajarkan oleh Yesus? Simons tidak menemukan sedikitpun nasihat tentang baptisan anak di dalam Kontrak Baru. Pada saat ini, Simons tidak berubah melayani dan berfungsi sebagai imam, melayankan perjamuan dan membaptiskan anak-anak, namun di dalam hatinya, dia tidak berubah diliputi oleh keraguan, dan dia menyadarinya.

Kaum Münster

Warga Anabaptis yang diberi petuah oleh seorang tukang jahit Belanda, Johannes dari Leyden, menempati kota Münster di Jerman dan memerintah kota itu sesuai dengan prinsip-prinsip rohani. Masalahnya, apa yang acap dinamakan orang sebagai hukum-hukum rohani tidak lain daripada upaya manusia dan maka terjadilah kerusuhan di kota Münster. Sebagian warga kota itu kembali ke Belanda dan membawa ekses-ekses kerusuhan itu bersama mereka. Simons melawan kaum Münster ini untuk memperlihatkan kesetiaannya sebagai seorang Katolik, meskipun dia sendiri menyadari bahwa sesungguhnya dia bukan lagi seorang yang sepenuhnya Katolik. Simons segala sesuatu yang diajarkan bahwa kaum Münster itu bersedia mati untuk kepercayaan mereka, sementara dia sendiri berjuang untuk nasihat yang tidak sepenuhnya dia yakini. Persoalannya terjadi lebih parah ketika saudara laki-laki Simons sendiri bergabung dengan kaum Münster dan belakangan mati dalam suatu pertempuran. Hal ini sangat memukul Simons. Dia tidak berubah menjalankan tugasnya sebagai seorang imam, meskipun dia tahu bahwa sebagian akbar dari doktrin yang diajarkannya itu tidak dapat diterimanya.

Sebagian akbar kaum Anabaptis yaitu warga yang cinta damai dan sebagian lagi malah seperti pertapa dan mereka sangat terkejut melihat ekses-ekses yang ditimbulkan oleh kaum Münster. Obbe Philips, seorang pendiri kebangkitan Anabaptis Belanda, sangat menentang kaum Münster dan mengucilkan mereka yang menerima ajaran-ajaran yang dianggap sesat. Kejadian ini seterusnya terjadi landasan dari praktik “penjauhan diri” yang dilaksanakan oleh kaum Anabaptis Belanda.

Khotbah-khotbah Simons lebih menunjukkan sifatnya yang berhadapan dengan Gereja Katolik, dan Simons sendiri merasa lebih sulit melintas kehidupan yang berganda. Namun dia sadar bahwa jika dia membelakangi Gereja Katolik, harga yang harus dibayarnya jauh lebih akbar daripada apa yang dialami oleh para reformator yang lain. Ini disebabkan karena sejak masa ratus tahun ke-6, ketika Kaisar Yustinianus berkuasa, sah dua nasihat sesat yang diancam dengan hukuman mati, yakni baptisan ulang dan penyangkalan terhadap Tritunggal. Banyakan kaum Anabaptis pada zaman Menno Simons tidak menerima sebutan ini karena hal ini menunjukkan sikap yang dibuat kriminal. Sejak masa ratus tahun ke-4, Gereja telah memutuskan bahwa baptisan ulang bagi mereka yang telah dibaptiskan oleh warga sesat sekalipun ataupun uskup yang telah menyimpang dari Gereja, tidak diperbolehkan. Para reformator, Luther, Zwingli, maupun Calvin, telah berusaha mempertahankan nasihat mereka sedemikian rupa sehingga mereka tidak berubah mempunyai penjagaan sipil. Namun jika Simons tidak menerima nasihat Katolik, khususnya menyangkut baptisan ulang, maka dia dapat dianggap sebagai kriminal adun oleh Gereja maupun oleh negara. Namun pada Januari 1536, Menno Simons akhir-akhirnya tidak menerima Gereja Katolik Roma dan terjadi Anabaptis. Dia menawarkan pertolongan untuk kaum Münster bukan karena dia setuju dengan perkara mereka, melainkan karena belas kasihannya. Karena itu, semasa satu tahun Simons menyembunyikan diri dari pemerintah. Semasa saat itu, Simons memanfaatkan waktunya untuk bermeditasi dan merenungkan kondisinya serta doktrin-doktrin yang seterusnya terjadi landasan dari sikap yang dibuatnya.

Simons terjadi Uskup

Obbe Philips dan para pengikutnya beberapa menanti Simons untuk memimpin kebangkitan Anabaptis di Belanda. Pada tahun 1537 Simons diangkatkan terjadi uskup dan diakui sebagai pemimpin kebangkitan Anabaptis di Belanda. Simons percaya bahwa anugerah Allah menyertai dirinya, karena dia tidak mengalami hukuman-hukuman mengerikan seperti yang dialami oleh teman-temannya yang ditenggelamkan dan dibakar pada salib. Simons memimpin jemaatnya yang pertama di Groningen. Di sana dia menikah dan seterusnya berkeliling dalam perjalanan misinya di negara-negara sekitar. Teologinya akhir-akhirnya menerima doktrin-doktrin ortodoks, namun dia tidak menerima praktik-praktik yang tidak disebutkan di dalam Kontrak Baru. Simons meninggal pada 31 Januari 1561.

Para pengikut Simons diketahui seterusnya sebagai Menonit. Mereka percaya akan pengilhaman Kitab Suci, namun Kontrak Baru telah menukarkan Kontrak Lama karena kematian Kristus sebagai penebus dipahami telah menggenapi janji-janji Kontrak Lama. Anggota Kontrak Baru yang paling dinilai tinggi oleh warga Menonit yaitu Khotbah di Bukit. Nasihat ini menciptakan kaum Menonit menuntut kehidupan etis yang tinggi. Warga Menonit menganggap Kontrak Lama lebih rendah nilainya, karena beragam nasihatnya yang dianggap berhadapan dengan nasihat Yesus, seperti perceraian, poligami, dan pertempuran. Semua ini dianggap oleh orang Menonit sebagai “kekerasan hati” yang dialami oleh warga seperti Daud. Sebagai penyataan Kerajaan Allah yang lebih lengkap, mereka percaya bahwa orang Kristen dituntut untuk melintas kehidupan etis yang lebih tinggi karena mereka telah mendapatkan pencerahan yang lebih tinggi. Itu pula maka orang Menonit tidak menerima untuk terjadi tentara atau turut berperang. Teologi mereka cenderung pasifis.

Warga Menonit dan Variannya

Tidak semua orang Anabaptis terjadi Menonit. Sebagian menerima tawaran penjagaan agama dari William Penn di Amerika Serikat, dan maka banyak dari mereka yang bermukim di Germantown, Philadelphia (1680). Sah banyak pula orang Menonit yang pindah ke Jerman ketika Tsarina Catherina II dari Rusia, yang berdarah Jerman, mengundang warga Jerman untuk mengolah tanah di daerah sekitar St. Petersburg (1762 –1763). Sebagian varian dari nasihat Menonit dikembangkan oleh Jacob Ammann, seorang Swiss, yang pengikutnya terjadi warga Amish di Amerika Serikat.

Nasihat

Sekelompok Menonit mendefinisikan “Tujuh Artikel Schleitheim” di Canton Schaffhausen, Swiss, pada 24 Februari 1527. Ketujuh artikel ini dapat dinyatakan menyimpulkan seluruh nasihat Gereja Menonit:

  1. Baptisan hanya dilayankan untuk mereka yang telah bertobat dan sungguh-sungguh percaya bahwa dosa mereka telah dihapuskan oleh Kristus, dan mereka yang berjalan di dalam kebangkitan Yesus Kristus, dikuburkan bersama-Nya di dalam kematian-Nya, sehingga mereka akan dibangkitkan bersama-Nya kelak. Karena itu, Gereja Menonit tidak menerima baptisan anak.
  2. Pengucilan dilaksanakan bagi mereka yang telah dibaptiskan, tetapi seterusnya jatuh ke dalam dosa dan telah diperingatkan sampai tiga kali.
  3. Memecah roti yaitu kesatuan oleh baptisan di dalam satu tubuh Kristus, yaitu Gereja Allah. Mereka yang turut serta di dalam pekerjaan kuasa kegelapan tidak mempunyai tempat dalam pemecahan roti.
  4. Orang Kristen terpanggil untuk memisahkan dirinya dari kuasa jahat, karena kita tidak beranggota dengan Babel dan Mesir. Oleh maka, orang Menonit harus menjauhkan diri dari semua karya dan kebaktian orang Katolik dan Protestan, bar-bar, urusan-urusan warga dan sumpah yang dinyatakan dalam ketidakyakinan, dan segala sesuatu yang dianggap luhur oleh dunia, namun jelas-jelas berlawanan dengan perintah Allah.
  5. Pendeta haruslah memimpin jemaat sedemikian rupa sehingga orang tidak dapat menjelek-jelekkannya. Jika pendeta harus melaksanakan disiplin, hal itu harus diterapkannya berdasarkan dua atau tiga orang saksi. Jika pendeta disingkirkan atau meninggal (karena mati syahid atau lainnya), maka orang lain harus langsung diangkatkan untuk menukarkannya supaya umat gembalaan Allah tidak musnah.
  6. Allah memerintahkan penggunaan pedang di luar kesempurnaan Kristus. Namun di dalam kesempurnaan Kristus pedang hanyalah dipergunakan untuk teguran memperingatkan untuk mengucilkan mereka yang tidak berdosa, tidak mematikan. Oleh maka, orang Kristen tidak boleh memanfaatkan pedang. Itu berarti pula orang Kristen tidak boleh terjadi tentara. "Orang dunia bersenjatakan besi dan baja, tetapi orang Kristen dipersenjatai oleh senjata Allah, dengan kebenaran, kehidupan yang sah, perdamaian, iman, keamanan, dan Firman Allah. Singkatnya, sebagaimana daya upaya Allah terhadap kita, demikian pula daya upaya anggota-anggota tubuh Kristus berjalan melintas Beliau di dalam segala sesuatu, supaya tidak terjadi perpecahan di dalam Tubuh-Nya (Gereja) yang dapat menyebabkan kehancuran. Karena setiap kerajaan yang berperang melawan dirinya sendiri akan hancur."
  7. Orang Kristen tidak boleh membicarakan sumpah, karena kata-katanya harus tegas, ya atau tidak.

Gereja Menonit di Indonesia

Di Indonesia, Gereja-gereja yang menganut teologi Menonit yaitu Gereja Kristen Muria Indonesia (GKMI) yang kantor Sinodenya sah di Kudus, Gereja Injili di Tanah Jawa (GITJ) yang kantor pusatnya sah di Pati, dan Jemaat Kristen Indonesia (JKI).

Lihat juga

Pranala luar



Sumber :
kategori-antropologi.kurikulum.org, wiki.edunitas.com, id.wikipedia.org, informasi.web.id, dsb.