Pembantaian Westerling

Kondisi di jalan setelah pembantaian terjadi
Artikel ini anggota dari seri
Sejarah Indonesia
Sejarah Indonesia .png
Lihat pula:
Garis waktu sejarah Indonesia
Sejarah Nusantara
Prasejarah
Kerajaan Hindu-Buddha
Kutai (abad ke-4)
Tarumanagara (358–669)
Kalingga (abad ke-6 sampai ke-7)
Sriwijaya (abad ke-7 sampai ke-13)
Sailendra (abad ke-8 sampai ke-9)
Kerajaan Medang (752–1006)
Kerajaan Kahuripan (1006–1045)
Kerajaan Sunda (932–1579)
Kediri (1045–1221)
Dharmasraya (abad ke-12 sampai ke-14)
Singhasari (1222–1292)
Majapahit (1293–1500)
Malayapura (abad ke-14 sampai ke-15)
Kerajaan Islam
Penyebaran Islam (1200-1600)
Kesultanan Samudera Pasai (1267-1521)
Kesultanan Ternate (1257–sekarang)
Kerajaan Pagaruyung (1500-1825)
Kesultanan Malaka (1400–1511)
Kerajaan Inderapura (1500-1792)
Kesultanan Demak (1475–1548)
Kesultanan Aceh (1496–1903)
Kesultanan Banten (1527–1813)
Kesultanan Cirebon (1552 - 1677)
Kesultanan Mataram (1588—1681)
Kesultanan Siak (1723-1945)
Kerajaan Kristen
Kerajaan Larantuka (1600-1904)
Kolonialisme bangsa Eropa
Portugis (1512–1850)
VOC (1602-1800)
Belanda (1800–1942)
Kedatangan Indonesia
Kebangkitan Nasional (1899-1942)
Pendudukan Jepang (1942–1945)
Revolusi nasional (1945–1950)
Indonesia Merdeka
Orde Lama (1950–1959)
Demokrasi Terpimpin (1959–1965)
Masa Transisi (1965–1966)
Orde Baru (1966–1998)
Era Reformasi (1998–sekarang)

Pembantaian Westerling adalah sebutan untuk peristiwa pembunuhan ribuan penduduk sipil di Sulawesi Selatan yang dilangsungkan oleh pasukan Belanda Depot Speciale Troepen pimpinan Raymond Pierre Paul Westerling. Peristiwa ini terjadi pada bulan Desember 1946-Februari 1947 selama operasi militer Counter Insurgency (penumpasan pemberontakan).

Operasi militer

Tahap pertama

Tingkah laku yang dibuat pertama operasi Pasukan Khusus DST dimulai pada malam tanggal 11 menjelang 12 Desember. Sasarannya adalah udik Batua serta beberapa udik kecil di sebelah timur Makassar dan Westerling sendiri yang memimpin operasi itu. Pasukan pertama berdaya 58 orang dipimpin oleh Sersan Mayor H. Dolkens menyerbu Borong dan pasukan kedua dipimpin oleh Sersan Mayor Instruktur J. Wolff beroperasi di Batua dan Patunorang. Westerling sendiri bersama Sersan Mayor Instruktur W. Uittenbogaard ditolong oleh dua ordonan, satu operator radio serta 10 orang staf menunggu di udik Batua.

Pada fase pertama, pukul 4 pagi wilayah itu dikepung dan seiring dengan sinyal lampu pukul 5.45 dimulai penggeledahan di rumah-rumah penduduk. Semua penduduk digiring ke udik Batua. Pada fase ini, 9 orang yang berusaha melarikan diri langsung ditembak mati. Setelah berjalan kaki beberapa kilometer, sekitar pukul 8.45 seluruh penduduk dari desa-desa yang digeledah telah terkumpul di udik Batua. Tanpa diketahui berapa jumlahnya secara tepat. Westerling melaporkan bahwa jumlahnya selang 3.000 sampai 4.000 orang yang kemudian perempuan dan anak-anak dipisahkan dari pria.

Fase kedua dimulai, yaitu mencari "kaum ekstremis, perampok, penjahat dan pembunuh". Westerling sendiri yang memimpin tingkah laku yang dibuat ini dan berkata untuk penduduk, yang diterjemahkan ke bahasa Bugis. Dia memiliki daftar nama "pemberontak" yang telah disusun oleh Vermeulen. Kepala norma budaya dan kepala udik harus menolongnya mengidentifikasi nama-nama tersebut. Akibatnya adalah 35 orang yang dituduh langsung dieksekusi di tempat. Metode Westerling ini dikenal dengan nama "Standrecht" – pengadilan (dan eksekusi) di tempat. Dalam laporannya Westerling menyebutkan bahwa yang telah dihukum adalah 11 ekstremis, 23 perampok dan seorang pembunuh.

Fase ketiga adalah ancaman untuk penduduk untuk tingkah laku yang dibuat di masa depan, penggantian Kepala udik serta pembentukan polisi udik yang harus melindungi udik dari anasir-anasir "pemberontak, teroris dan perampok". Setelah itu penduduk disuruh balik ke udik masing-masing. Operasi yang berlangsung dari pukul 4 hingga pukul 12.30 telah mengakibatkan tewasnya 44 penduduk udik.

Demikianlah "sweeping ala Westerling". Dengan pola yang sama, operasi pembantaian penduduk di Sulawesi Selatan berjalan terus. Westerling juga memimpin sendiri operasi di udik Tanjung Bunga pada malam tanggal 12 menjelang 13 Desember 1946. 61 orang ditembak mati. Selain itu beberapa kampung kecil di sekitar udik Tanjung Bunga dibakar, sehingga korban tewas seluruhnya sampai 81 orang.

Berikutnya pada malam tanggal 14 menjelang 15 Desember, tiba giliran Kalukuang yang terletak di pinggiran kota Makassar, 23 orang penduduk ditembak mati. Menurut laporan intelijen mereka, Wolter Monginsidi dan Ali Malakka yang diburu oleh tentara Belanda tidak kekurangan di wilayah ini, namun mereka tanpa dapat ditemukan. Pada malam tanggal 16 menjelang tanggal 17 Desember, udik Jongaya yang terletak di sebelah tenggara Makassar menjadi sasaran. Di sini 33 orang dieksekusi.

Tahap kedua

Setelah daerah sekitar Makassar dibersihkan, tingkah laku yang dibuat tahap kedua dimulai tanggal 19 Desember 1946. Sasarannya adalah Polobangkeng yang terletak di selatan Makassar di mana menurut laporan intelijen Belanda, terdapat sekitar 150 orang pasukan TNI serta sekitar 100 orang anggota laskar bersenjata. Dalam penyerangan ini, Pasukan DST menyerbu bersama 11 peleton tentara KNIL dari Pasukan Infanteri XVII. Penyerbuan ini dipimpin oleh Letkol KNIL Veenendaal. Satu pasukan DST di bawah pimpinan Vermeulen menyerbu udik Renaja dan Ko'mara. Pasukan beda mengurung Polobangkeng. Selanjutnya pola yang sama seperti pada gelombang pertama dilangsungkan oleh Westerling. Dalam operasi ini 330 orang penduduk tewas dibunuh.

Tahap ketiga

Tingkah laku yang dibuat tahap ketiga mulai dilancarkan pada 26 Desember 1946 terhadap Gowa dan dilangsungkan dalam tiga gelombang, yaitu tanggal 26 dan 29 Desember serta 3 Januari 1947. Di sini juga dilangsungkan kerjasama selang Pasukan Khusus DST dengan pasukan KNIL. Korban tewas di kalangan penduduk berjumlah 257 orang.

Pemberlakuan kondisi darurat

Westerling

Untuk lebih memberikan keleluasaan bagi Westerling, pada 6 Januari 1947 Jenderal Simon Spoor memberlakukan noodtoestand (keadaan darurat) untuk wilayah Sulawesi Selatan. Pembantaian penduduk dengan pola seperti yang telah dipraktekkan oleh pasukan khusus berjalan terus dan di banyak tempat, Westerling tanpa hanya memimpin operasi, melainkan ikut menembak mati penduduk yang dituduh sebagai teroris, perampok atau pembunuh.

Pertengahan Januari 1947 sasarannya adalah pasar di Parepare dan dilangsungkan di Madello, Abbokongeng, Padakkalawa, satu udik tak dikenal, Enrekang, Talabangi, Soppeng, Barru, Malimpung, dan Suppa.

Setelah itu, masih telah tersedia beberapa udik dan wilayah yang menjadi sasaran Pasukan Khusus DST tersebut, yaitu pada tanggal 7 dan 14 Februari di pesisir Tanete, pada tanggal 16 dan 17 Februari di udik Taraweang dan Bornong-Bornong. Kemudian juga di Mandar, di mana 364 orang penduduk tewas dibunuh. Pembantaian para "ekstremis" bereskalasi di Kulo, Amparita dan Maroangin di mana 171 penduduk dibunuh tanpa sedikit pun diberitahukan bukti kesalahan mereka atau alasan pembunuhan.

Selain itu, di aksi-aksi penghabisan, tanpa seluruhnya "teroris, perampok dan pembunuh" yang dibantai berdasarkan daftar yang mereka peroleh dari dinas intel, melainkan secara sembarangan orang-orang yang sebelumnya telah tersedia di tahanan atau penjara karena bermacam sebab, dibawa ke luar dan dikumpulkan bersama terdakwa beda untuk kemudian dibunuh.

H.C. Kavelaar, seorang harus militer KNIL, adalah saksi mata pembantaian di alun-alun di Tanete, di mana sekitar 10 atau 15 penduduk dibunuh. Dia menyaksikan, bagaimana Westerling sendiri menembak mati beberapa orang dengan pistolnya, sedangkan bedanya diberondong oleh peleton DST dengan sten gun.

Di semua tempat, pengumpulan data tentang orang-orang yang mendukung Republik, intel Belanda selalu ditolong oleh pribumi yang rela demi uang dan kedudukan. Pada tingkah laku yang dibuat di Gowa, Belanda ditolong oleh seorang kepala udik, Hamzah, yang tetap setia untuk Belanda.

Peristiwa Galung Lombok

Peristiwa maut di Galung Lombok terjadi pada tanggal 2 Februari 1947. Ini adalah peristiwa pembantaian Westerling, yang telah menelan korban jiwa terbesar di selang semua korban yang jatuh di daerah beda sebelumnya. Pada peristiwa itu, M. Joesoef Pabitjara Baroe (anggota Dewan Penasihat PRI) bersama dengan H. Ma'roef Imam Baroega, Soelaiman Kapala Baroega, Daaming Kapala Segeri, H. Nuhung Imam Segeri, H. Sanoesi, H. Dunda, H. Hadang, Muhamad Saleh, Sofyan, dsb-nya, direbahkan di ujung bayonet dan menjadi sasaran peluru. Setelah itu, barulah menyusul keadaan pembantaian serentak terhadap orang-orang yang tak berdosa yang turut digiring ke tempat tersebut.

Semua itu belum termasuk korban yang dibantai berakhir di tempat beda, seperti Abdul Jalil Daenan Salahuddin (kadi Sendana), Tambaru Pabicara Banggae, Atjo Benya Pabicara Pangali-ali, ketiganya anggota Dewan Penasihat PRI, Baharuddin Kapala Bianga (Ketua Majelis Pertahanan PRI), Dahlan Tjadang (Ketua Majelis Urusan Rumah Tangga PRI), dan masih banyak kembali. Telah tersedia pula yang diambil dari tangsi Majene waktu itu dan dibawa ke Galung Lombok lalu diakhiri hidupnya.

Sepuluh hari setelah terjadinya peristiwa yang lazim disebut Peristiwa Galung Lombok itu, menyusul penyergapan terhadap delapan orang pria dan wanita, yaitu Andi Tonra (Ketua Umum PRI), A. Zawawi Yahya (Ketua Majelis Pendidikan PRI), Abdul Wahab Anas (Ketua Majelis Politik PRI), Abdul Rasyid Sulaiman (pegawai kejaksaan pro-RI), Anas (ayah kandung Abdul Wahab), Nur Daeng Pabeta (kepala Jawatan Perdagangan Dalam Negeri), Soeradi (anggota Dewan Pimpinan Pusat PRI), dan tujuh hari kemudian ditahan pula Ibu Siti Djohrah Halim (pimpinan Aisyah dan Muhammadiyah Cabang Mandar), yang pada masa PRI menjadi Ketua Majelis Kewanitaan.

Dua di selang mereka yang disiksa adalah Andi Tonran dan Abdul Wahab Anas. Sedangkan Soeradi tanpa digiring ke tiang gantungan, melainkan disiksa secara bergantian oleh lima orang NICA, sampai menghebuskan napas penghabisan di bawah saksi mata Andi Tonra dan Abdul Wahab Anas.rg

Pasca operasi militer

Jenderal Spoor menilai bahwa kondisi darurat di Sulawesi Selatan telah dapat diatasi, maka dia menyatakan mulai 21 Februari 1947 dilangsungkan kembali Voorschrift voor de uitoefening van de Politiek-Politionele Taak van het Leger - VPTL (Pedoman Pelaksanaan bagi Tentara untuk Tugas di bidang Politik dan Polisional), dan Pasukan DST ditarik kembali ke Jawa.

Dengan keberhasilan menumpas para ekstrimis, di kalangan Belanda adun militer mau pun sipil reputasi Pasukan Khusus DST dan komandannya, Westerling melambung tinggi. Media massa Belanda memberitakan secara superlatif. Ketika pasukan DST tiba kembali ke Markas DST pada 23 Maret 1947, mingguan militer Het Militair Weekblad menyanjung dengan berita: "Pasukan si Turki kembali." Berita pers Belanda sendiri yang kritis tentang pembantaian di Sulawesi Selatan baru timbul untuk pertama kali pada bulan Juli 1947.

Kamp DST kemudian dipindahkan ke Kalibata, dan setelah itu, karena dianggap sudah terlalu sempit, selanjutnya dipindahkan ke Batujajar dekat Cimahi. Pada bulan Oktober 1947 dilangsungkan reorganisasi di tubuh DST dan komposisi Pasukan Khusus tersebut kemudian terdiri dari 2 perwira dari KNIL, 3 perwira dari KL (Koninklijke Leger), 24 bintara KNIL, 13 bintara KL, 245 serdadu KNIL dan 59 serdadu KL. Pada tanggal 5 Januari 1948, nama DST diubah menjadi Korps Speciale Troepen – KST (Korps Pasukan Khusus) dan kemudian juga memiliki unit parasutis. Westerling memegang komando pasukan yang lebih akbar dan lebih hebat dan pangkatnya menjadi Kapten.

Korban

Berapa ribu penduduk Sulawesi Selatan yang menjadi korban keganasan tentara Belanda hingga sekarang tanpa jelas. Tahun 1947, delegasi Republik Indonesia menyampaikan untuk Dewan Keadaan aman PBB, korban pembantaian terhadap penduduk, yang dilangsungkan oleh Kapten Raymond Westerling sejak bulan Desember 1946 di Sulawesi Selatan sampai 40.000 jiwa.

Pemeriksaan Pemerintah Belanda tahun 1969 memperkirakan sekitar 3.000 penduduk Sulawesi tewas dibantai oleh Pasukan Khusus pimpinan Westerling, sedangkan Westerling sendiri menyatakan, bahwa korban yang pengahabisan sekali suatu peristiwa tingkah laku yang dibuat yang dilangsungkan oleh pasukannya "hanya" 600 orang.

Perbuatan Westerling beserta pasukan khususnya dapat lolos dari tuntutan pelanggaran HAM Pengadilan Belanda karena sebenarnya tingkah laku yang dibuat terornya yang dinamakan contra-guerilla, mendapat izin dari Letnan Jenderal Spoor dan Wakil Gubernur Jenderal Dr. Hubertus Johannes van Mook. Aci yang sebenarnya bertanggungjawab atas pembantaian penduduk Sulawesi Selatan adalah Pemerintah dan Angkatan Perang Belanda.

Pembantaian tentara Belanda di Sulawesi Selatan ini dapat dibawa turut ke dalam kategori kejahatan atas kemanusiaan (crimes against humanity), yang hingga sekarangpun dapat dimajukan ke pengadilan internasional, karena untuk pembantaian etnis (Genocide) dan crimes against humanity, tanpa telah tersedia kadaluarsanya. Butuh diupayakan, peristiwa pembantaian ini dimajukan ke International Criminal Court (ICC) di Den Haag, Belanda.

Permintaan maaf

Pada 12 September 2013, Pemerintah Belanda melalui Duta Akbarnya di Jakarta, Tjeerd de Zwaan, menyampaikan permintaan maafnya untuk seluruh korban pembantaian.[1] "Atas nama Pemerintah Belanda aku meminta maaf atas kejadian-kejadian ini. Hari ini aku juga meminta maaf untuk para janda dari Bulukumba, Pinrang, Polewali Mandar dan Parepare," kata Zwaan.[1]

Selain itu, Pemerintah Belanda juga memberikan kompensasi untuk 10 janda yang suaminya menjadi korban pembantaian tersebut masing-masing sebesar 20 ribu Euro atau Rp 301 juta.[2]

Referensi

  1. ^ a b Belanda Minta Maaf ke Keluarga Korban Westerling Vivanews, 12 September 2013 diakses 16 September 2013
  2. ^ Belanda Ganti Rugi 20 ribu Euro Untuk 10 Janda Korban Westerling Liputan6.com, diakses 16 September 2013

Pranala luar

Sejarah konflik di Indonesia
 
Konflik politik
 
Konflik sosial
 
Terorisme
 
Kejahatan kemanusiaan


Sumber :
m.andrafarm.com, kategori-antropologi.ggiklan.com, wiki.edunitas.com, id.wikipedia.org, dsb.