Perang Aceh
Perang Aceh | |||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|
![]() Panglima agung angkatan perang Belanda, Jenderal J.H.R. Kohler tewas ditembak oleh penembak jitu Aceh pada tahun 1873 | |||||||
| |||||||
Pihak yang terlibat | |||||||
![]() | Kesultanan Aceh, Mujahidin Aceh | ||||||
Komandan | |||||||
![]() ![]() | Sultan Mahmudsyah Tuanku Hasyim Banta Muda Habib Abdoe'r Rahman Alzahier Panglima Polem Sultan Muhammad Daud Syah Teuku Umar Teungku Chik di Tiro | ||||||
Kekuatan | |||||||
50.000 Tentara Eropa 100.000 Tentara KNIL (5.000 penduduk bugis, 10.000 Madura, 50.000 penduduk Jawa) Pasukan elit Maréchaussée | 200.000+ mujahidin Aceh | ||||||
Korban | |||||||
100.000+ tewas | 60-70.000 tewas 100.000 rakyat negara sipil tewas (pembantaian Belanda) |
Perang Aceh–Belanda atau disingkat Perang Aceh yaitu perang Kesultanan Aceh melawan Belanda dimulai pada 1873 hingga 1904. Kesultanan Aceh menyerah pada januari 1904, tapi perlawanan rakyat Aceh dengan perang gerilya terus tidak sewenang-wenang.
Pada tanggal 26 Maret 1873 Belanda mengemukakan perang kepada Aceh, dan mulai meloloskan tembakan meriam ke daratan Aceh dari kapal perang Citadel van Antwerpen. Pada 5 April 1873, Belanda mendarat di Pante Ceureumen di bawah pimpinan Johan Harmen Rudolf Köhler, dan langsung mampu menguasai Masjid Raya Baiturrahman. Köhler masa itu membawa 3.198 tentara. Sebanyak 168 di selangnya para perwira
Daftar pokok
Latar yang belakang sekali
![](https://kategori-antropologi.pts-ptn.net/_sepakbola/_baca_image.php?td=9&kodegb=220px-COLLECTIE_TROPENMUSEUM_Luitenant-generaal_J.jpg)
Akibat dari Perjanjian Siak 1858, Sultan Ismail menyerahkan wilayah Deli, Langkat, Asahan dan Serdang kepada Belanda, padahal daerah-daerah itu sejak Sultan Iskandar Muda, telah tersedia di bawah kekuasaan Aceh. Belanda melanggar perjanjian Siak, maka berakhirlah perjanjian London tahun 1824. Pokok perjanjian London yaitu Belanda dan Britania Raya membuat ketentuan tentang batas-batas kekuasaan kedua daerah di Asia Tenggara yaitu dengan garis lintang Singapura. Keduanya mengakui kedaulatan Aceh. Aceh menuduh Belanda tanpa menepati janjinya, sehingga kapal-kapal Belanda yang lewat perairan Aceh ditenggelamkan oleh pasukan Aceh. Afal Aceh ini didukung Britania.
Dengan diretasnya Terusan Suez oleh Ferdinand de Lesseps mengakibatkan perairan Aceh menjadi sangat penting untuk lewat lintas perdagangan. Ditandatanganinya Perjanjian London 1871 selang Inggris dan Belanda, yang pokoknya, Britania memberikan keleluasaan kepada Belanda untuk mengambil sikap yang dibuat di Aceh. Belanda harus melindungi keselamatan lalulintas di Selat Malaka. Belanda mengizinkan Britania tidak terikat barang-barang yang dijual di Siak dan menyerahkan daerahnya di Guyana Barat kepada Britania.
Akibat perjanjian Sumatera 1871, Aceh mengadakan hubungan diplomatik dengan Konsul Amerika Serikat, Kerajaan Italia dan Kesultanan Usmaniyah di Singapura. Aceh juga mengirimkan utusan ke Turki Usmani pada tahun 1871. Akibat upaya diplomatik Aceh tersebut, Belanda menjadikannya sebagai pendapat untuk menyerang Aceh. Wakil Presiden Dewan Hindia Frederik Nicolaas Nieuwenhuijzen dengan 2 kapal perangnya datang ke Aceh dan berkeinginan keterangan dari Sultan Machmud Syah tentang apa yang sudah dirundingkan di Singapura itu, tetapi Sultan Machmud mengusir untuk memberikan keterangan.
Periode
![](https://kategori-antropologi.pts-ptn.net/_sepakbola/_baca_image.php?td=9&kodegb=250px-Samalanga_1878.jpg)
Perang Aceh Pertama (1873-1874) dipandu oleh Panglima Polim dan Sultan Mahmud Syah melawan Belanda yang dipandu Köhler. Köhler dengan 3000 serdadunya mampu dipatahkan, dimana Köhler sendiri tewas pada tanggal 14 April 1873. Sepuluh hari kemudian, perang berkecamuk di mana-mana. Yang paling agung masa menguasai pulang Masjid Raya Baiturrahman, yang dibantu oleh beberapa kelompokan pasukan. Tidak sewenang-wenang di Peukan Aceh, Lambhuk, Lampu'uk, Peukan Bada, sampai Lambada, Krueng Raya. Beberapa ribu penduduk juga berdatangan dari Teunom, Pidie, Peusangan, dan beberapa wilayah lain.
Perang Aceh Kedua (1874-1880). Pasukan Belanda dipandu oleh Jenderal Jan van Swieten. Belanda berhasil menguasai Keraton Sultan, 26 Januari 1874, dan dijadikan sebagai pusat pertahanan Belanda. Pada 31 Januari 1874 Jenderal Van Swieten mengumumkan bahwa seluruh Aceh aci anggota dari Kerajaan Belanda. Ketika Sultan Machmud Syah berpulang dunia 26 Januari 1874, ditukarkan oleh Tuanku Muhammad Dawood yang dinobatkan sebagai Sultan di masjid Indrapuri. Perang pertama dan kedua ini yaitu perang total dan frontal, dimana pemerintah masih berjalan mapan, meskipun ibu kota negara berpindah-pindah ke Keumala Dalam, Indrapuri, dan tempat-tempat lain.
Perang ketiga (1881-1896), perang dilanjutkan secara gerilya dan dikobarkan perang fi sabilillah. Dimana sistem perang gerilya ini dilanjutkan sampai tahun 1903. Dalam perang gerilya ini pasukan Aceh di bawah Teuku Umar bersama Panglima Polim dan Sultan. Pada tahun 1899 ketika terjadi serangan mendadak dari pihak Van der Dussen di Meulaboh, Teuku Umar gugur. Tetapi Cut Nyak Dhien istri Teuku Umar kemudian tampil menjadi komandan perang gerilya.
Perang keempat (1896-1910) yaitu perang gerilya kelompokan dan perorangan dengan perlawanan, penyerbuan, penghadangan dan pembunuhan tanpa komando dari pusat pemerintahan Kesultanan.
Siasat Snouck Hurgronje
![](https://kategori-antropologi.pts-ptn.net/_sepakbola/_baca_image.php?td=9&kodegb=150px-Christiaan_Snouck_Hurgronje.jpg)
Untuk mengalahkan pertahanan dan perlawan Aceh, Belanda memakai tenaga berbakat Dr. Christiaan Snouck Hurgronje yang menyamar selama 2 tahun di pedalaman Aceh untuk meneliti kemasyarakatan dan ketatanegaraan Aceh. Hasil kerjanya itu dibukukan dengan judul Rakyat Aceh (De Acehers). Dalam buku itu dirundingkan strategi bagaimana untuk menaklukkan Aceh.
Usulan strategi Snouck Hurgronje kepada Gubernur Militer Belanda Joannes Benedictus van Heutsz yaitu, agar golongan Keumala (yaitu Sultan yang berkedudukan di Keumala) dengan pengikutnya dikesampingkan dahulu. Tetap menyerang terus dan menghantam terus kaum ulama. Tanpa usah mau berunding dengan pimpinan-pimpinan gerilya. Mendirikan pangkalan tetap di Aceh Raya. Memperlihatkan niat patut Belanda kepada rakyat Aceh, dengan agenda mendirikan langgar, masjid, memperbaiki jalan-jalan irigasi dan menolong pekerjaan sosial rakyat Aceh.
Terbukti siasat Dr Snouck Hurgronje diterima oleh Van Heutz yang menjadi Gubernur militer dan sipil di Aceh (1898-1904). Kemudian Dr Snouck Hurgronje dibawa ke atas sebagai penasehatnya.
Taktik perang
![](https://kategori-antropologi.pts-ptn.net/_sepakbola/_baca_image.php?td=9&kodegb=250px-thumbnail.jpg)
Taktik perang gerilya Aceh ditiru oleh Van Heutz, dimana diwujudkan pasukan maréchaussée yang dipandu oleh Hans Christoffel dengan pasukan Colone Macan yang telah mampu dan menguasai pegunungan-pegunungan, hutan-hutan rimba raya Aceh untuk mencari dan mengejar gerilyawan-gerilyawan Aceh.
Taktik berikutnya yang dilaksanakan Belanda yaitu dengan agenda penculikan anggota keluarga gerilyawan Aceh. Misalnya Christoffel menculik permaisuri Sultan dan Tengku Putroe (1902). Van der Maaten menawan putera Sultan Tuanku Ibrahim. Akibatnya, Sultan menyerah pada tanggal 5 Januari 1902 ke Sigli dan berdamai. Van der Maaten dengan diam-diam menyergap Tangse pulang, Panglima Polim mampu meloloskan diri, tetapi sebagai tukarnya ditangkap putera Panglima Polim, Cut Po Radeu saudara perempuannya dan beberapa keluarga terdekatnya. Kesudahannya Panglima Polim menaruh senjata dan menyerah ke Lhokseumawe pada Desember 1903. Sehabis Panglima Polim menyerah, banyak penghulu-penghulu rakyat yang menyerah memasuki jejak Panglima Polim.
Taktik kemudian, pembersihan dengan agenda membunuh rakyat Aceh yang dilaksanakan di bawah pimpinan Gotfried Coenraad Ernst van Daalen yang menukarkan Van Heutz. Seperti pembunuhan di Kuta Reh (14 Juni 1904) dimana 2.922 penduduk dibunuhnya, yang terdiri dari 1.773 laki-laki dan 1.149 perempuan.
Taktik terakhir menangkap Cut Nyak Dhien istri Teuku Umar yang masih melaksanakan perlawanan secara gerilya, dimana kemudiannya Cut Nya Dien mampu ditangkap dan diasingkan ke Sumedang.
Surat perjanjian tanda menyerah
![](https://kategori-antropologi.pts-ptn.net/_sepakbola/_baca_image.php?td=9&kodegb=250px-Atjeh_Overgave_Januari_1903.jpg)
Selama perang Aceh, Van Heutz telah menciptakan surat pendek (korte verklaring, Traktat Pendek) tentang penyerahan yang harus ditandatangani oleh para pemimpin Aceh yang telah tertangkap dan menyerah. Di mana pokok dari surat pendek penyerahan diri itu berisikan, Raja (Sultan) mengakui daerahnya sebagai anggota dari daerah Hindia Belanda, Raja berjanji tanpa hendak mengadakan hubungan dengan kekuasaan di luar negeri, berjanji hendak mematuhi seluruh perintah-perintah yang ditetapkan Belanda. Perjanjian pendek ini menukarkan perjanjian-perjanjian terdahulu yang melilit dan panjang dengan para pemimpin satu tempat.
Walau demikian, wilayah Aceh tetap tanpa mampu dikuasai Belanda seluruhnya, dikarenakan pada masa itu tetap saja terjadi perlawanan terhadap Belanda meskipun dilaksanakan oleh sekelompok penduduk (masyarakat). Hal ini tidak sewenang-wenang sampai Belanda enyah dari Nusantara dan ditukar kedatangan penindas baru yakni Jepang (Nippon).
Komentar
- Ketika perang kolonial Belanda di Aceh hampir memasuki seperempat seratus tahun, Letnan Kolonel infantri purnawirawan G.B. Hooijer yang pernah menjalankan tugas di Aceh menulis dalam ikhtisar umum bukunya De Krijgsgeschiedenis van Nederlansch Indië van 1811 tot 1894, jilid III (terakhir, setebal 480 halaman), tahun 1895, pada halaman 5 sebagai berikut:
- Tanpa tidak sewenang-wenang pasukan Diponegoro atau Sentot, patut orang-orang Padri yang fanatik maupun rombongan orang-orang Bali atau massa berkuda orang-orang Bone, seperti yang pernah dilaksanakan oleh para pejuang Aceh yang begitu berani dan tak takut mati menghadapi serangan, yang begitu agung menaruh kepercayaan pada diri sendiri, yang sedemikian gigih menerima nasibnya, yang cinta kemerdekaan, yang bersikap sedemikian fanatik seolah-olah mereka dilahirkan untuk menjadi gerilyawan bangsanya. Oleh sebab itu perang Belanda di Aceh hendak tetap menjadi sumber latihan bagi pasukan kami. Dan karena itu pula diri sendiri menganggap tepat sekali bila jilid III atau terakhir sejarah perang (Belanda di Hindia Belanda) itu seluruhnya diri sendiri peruntukkan guna menguraikan peperangan di Aceh.[1]
- Namun dari semua pemimpin peperangan kami yang pernah bertempur di setiap pelosok kepulauan kami ini, kami mendengar bahwa tanpa tidak sewenang-wenang satu bangsa yang begitu gagah berani dan fanatik dalam peperangan kecuali bangsa Aceh; wanita-wanitanya pun hadir keberanian dan kerelaan berkorban yang jauh melebihi wanita-wanita lain.[2]
Rujukan
Lihat juga
- Perjanjian London tahun 1824
- Perjanjian London (1871)
- Perang Aceh Pertama (1876-1877)
- Perang Aceh Kedua (1896-1901)
- Pembantaian Tanah Gayo, Alas, dan Batak
|
wiki.edunitas.com, id.wikipedia.org, informasi.web.id, kategori-antropologi.andrafarm.com, dll.