Kesultanan Bulungan

Kesultanan Bulungan
ﻛﺴﻠﺘﺎﻧﻦ بولوڠن

 

1731–1964
BenderaLambang
IbukotaTanjung Palas
BahasaBahasa Melayu (dialek Bulungan)
AgamaIslam (resmi)
Kaharingan
Animisme
PemerintahanMonarki
Sejarah 
 - Didirikan1731
 - Datang wilayah Indonesia 
 - Kejadian Bultiken1964
Sekarang anggota dariIndonesia


Kesultanan Bulungan atau Bulongan[1] yaitu kesultanan yang pernah menempati wilayah pesisir Kabupaten Bulungan, Kabupaten Tana Tidung, Kabupaten Malinau, Kabupaten Nunukan, dan Kota Tarakan sekarang. Kesultanan ini berdiri pada tahun 1731, dengan raja pertama bernama Wira Amir gelar Amiril Mukminin (17311777), dan Raja Kesultanan Bulungan yang penghabisan atau ke-13 yaitu Datuk Tiras gelar Sultan Maulana Muhammad Djalalluddin (1931-1958).[2] Negeri Bulungan bekas daerah punya "negara Berau" yang telah memisahkan diri[3] sehingga dalam kontrak Kesultanan Banjar dengan VOC-Belanda dianggap sebagai anggota dari "negara Berau" (Berau bekas vazal Banjar).[4] Pada kenyataannya sampai tahun 1850, Bulungan sah di bawah dominasi Kesultanan Sulu.[5]

Sejarah Kerajaan Bulungan

Istana Kesultanan Bulungan pada masa ratus tahun ke-20.
Sultan Jalaluddin bersama permaisuri (tahun 1940).
Atraksi Mendayung saat kedatangan pejabat kolonial ke Kesultanan Bulungan (hingga 1930).

Berdirinya Kerajaan Bulungan tidak dapat dipisahkan dengan mitos ataupun legenda yang hidup secara turun-temurun dalam warga. Legenda bersifat lisan dan merupakan tuturan penduduk yang dianggap oleh yang empunya tuturan sebagai suatu kejadian yang benar-benar terjadi. Karena sifatnya yang tidak tertulis dan acap kali mengalami distorsi maka acap kali pula dapat jauh selisih dengan kisah aslinya. Yang demkian itulah disebut dengan folk history (sejarah kolektif). Kuwanyi, yaitu nama seorang pemimpin suku bangsa Dayak Hupan (Dayak Kayan) karena tinggal di hilir Sungai Kayan, mula-mula menghuni sebuah perkampungan kecil yang penghuninya hanya terdiri atas kurang lebih 80 jiwa di tepi Sungai Payang, cabang Sungai Pujungan. Karena kehidupan warga sehari-hari kurang adun, maka mereka pindah ke hilir sebuah sungai akbar yang bernama Sungai Kayan.

Suatu hari Kuwanyi berkunjung berburu ke hutan, namun tidak seekorpun hewan yang diperolehnya, kecuali seruas bambu akbar yang disebut bambu betung dan sebutir telur yang terletak di atas tunggul kayu Jemlay. Bambu dan telur itu dibawanya balik ke rumah. Dari bambu itu keluar seorang anak laki-laki dan ketika telur itu dipecah ke luar pula seorang anak perempuan. Kedua anak ini dianggap sebagai kurnia para Dewa. Kuwanyi dan istrinya memelihara anak itu baik-baik sampai dewasa. Ketika keduanya dewasa, maka masing-masing diberi nama Jauwiru untuk yang laki-laki dan yang perempuan bernama Lemlai Suri. Keduanya dikawinkan oleh Kuwanyi.


Kisah Jauwiru dan Lemlai Suri sekarang diabadikan dengan didirikannya sebuah Monumen Telor Pecah. Monumen tersebut terletak di selang Jl. sengkawit dan Jl. Jelarai, Kota Tanjung Selor, yang memikirkan kita tentang cikal bakal berdirinya kesultanan Bulungan.

Bulungan, bersumber dari yang dinyatakan Bulu Tengon (Bahasa Bulungan), yang berarti bambu betulan. Karena demikianlah keadaanya perubahan dialek bahasa Melayu maka berubah terjadi “Bulungan”. Dari sebuah bambu itulah terlahir seorang yang akan menjadi pemimpin yang diberi nama Jauwiru. Dan dalam perjalanan sejarah keturunan, lahirlah kesultanan Bulungan. Sehabis Kuwanyi wafat maka Jauwiru menukarkan jabatan sebagai ketua suku bangsa Dayak (Hupan). Seterusnya Jauwiru mempunyai seorang putera bernama Paran Anyi.

Paran Anyi tidak mempunyai seorang putera, namun mempunyai seorang puteri yang bernama Lahai Bara yang seterusnya kawin dengan seorang laki-laki bernama Wan Paren, yang menukarkan jabatannya. Dari perkawinan Lahai Bara dan Wan Paren kelahiran seorang putera bernama Si Barau dan seorang puteri bernama Simun Luwan. Pada saat kesudahan hidupnya, Lahai Bara mengamanatkan kepada anak-anaknya supaya “Lungun” yaitu peti matinya didudukkan di sebelah hilir [[sungai Kipah]]. Lahai Bara mewariskan tiga macam benda pusaka, yaitu ani-ani (kerkapan). Kedabang, sejenis tutup kepala dan sebuah dayung (bersairuk). Tiga macam barang warisan ini memunculkan perselisihan selang Si Barau dan saudaranya, Simun Luwan. Akhir-akhirnya Simun Luwan berhasil mengambil dayung dan berkunjung membawa serta peti mati Lahai Bara.

Karena kesaktian yang dimiliki oleh Simun Luwan, hanya dengan menggoreskan ujung dayung pada sebuah tanjung dari sungai Payang, maka tanjung itu terputus dan hanyut ke hilir sampai ke tepi Sungai Kayan, yang sekarang terletak di kampung Long Pelban. Di Hulu kampung Long Pelban inilah peti mati Lahai Bara dikuburkan. Menurut kepercayaan seluruh keturunan Lahai Bara, paling penting keturunan raja-raja Bulungan, dahulu tidak sah seorangpun yang berani melewati kuburan Lahai Bara ini, karena takut kutukan Si Barau ketika memprlagakan dengan Simun Luwan. Bahwa siapa saja dari keturunan Lahai Bara jika melewati peti matinya niscaya tidak akan selamat. Tanjung hanyut itu sampai sekarang oleh suku-suku bangsa Dayak Kayan dinamakan Busang Mayun, berarti Pulau Hanyut.

Kepergian Simun Luwan disebabkan oleh perselisihan dengan saudaranya sendiri, saat itu merupakan permulaan perpindahan suku-suku bangsa Kayan, membelakangi tempat sumber nenek moyang mereka di sungai Payang menuju sungai Kayan, dan menetap dekat dari Kota Tanjung Selor, ibu kota Kabupaten Bulungan sekarang. Suku bangsa Kayan hingga sekarang masih terdapat di beberapa perkampungan di sepanjang sungai Kayan, di hulu Tanjung Selor, di Kampung Long Mara, Antutan dan Pimping. Simun Luwan mempunyai suami bernama Sadang, dan dari perkawinan mereka kelahiran seorang anak perempuan bernama Asung Luwan. Asung Luwan kawin dengan seorang bangsawan dari Brunei, yaitu Datuk Mencang.

Para kerabat Kesultanan Bulungan

Sejak pemerintahan Datuk Mencang inilah timbulnuya kerajaan Bulungan. Datuk Mencang yaitu salah seorang putera Raja Brunei di Kalimantan Utara yang telah bermodel pemerintahan teratur. Datuk Mencang berlabuh di muara sungai Kayan Karena sudah berakhir persediaan cairan minum. Dengan sebuah perahu kecil Datuk Mencang dan Datuk Tantalani menyusuri sungai Kayan berusaha mendapatkan cairan tawar, namun suku bangsa Kayan sudah sedia menghadang kedatangan mereka. Mujur pihak Datuk Mencang dan Datuk Tantalani cukup berbakat dapat mengatasi kondisi dan berhasil menyediakan perdamaian dengan warga asli sungai Kayan. Dari hasil perdamaian ini akhir-akhirnya Datuk Mencang kawin dengan Asung Luwan, salah seorang puteri keturunan Jauwiru.

Menurut legenda, lamaran Datuk Mencang atas Asung Luwan disorongkan, kecuali Pangeran dari Brunei itu sanggup mempersembahkan mas kawin berupa kepala Sumbang Lawing, pembunuh Sadang, kakaknya. Melintas perjuangan, ketangkasan dan kecerdasan, akhir-akhirnya Datuk Mencang dapat mengalahkan Sumbang Lawing. Pertempuran tanding dilanjutkan dengan coba ketangkasan membelah jeruk yang mengadakan kampanye dengan senjata. Datuk Mencang lebih unggul dan meme-nangkan coba ketangkasan tersebut.

Sehabis Asung Luwan menikah dengan datuk Mencang (1555-1594), berakhirlah saat pemerintahan di daerah Bulungan yang diberi petuah oleh Kepala Adat/Suku, karena sejak Datuk Mencang memimpin daerah Bulungan, pemimpinnya disebut sebagai Kesatria/Wira.

Sultan Bulungan

Berikut yaitu daftar Sultan Bulungan, daftar berikut masih belum lengkap, karena sah tahun yang hilang serta nama yang tidak diketahui.[6]

Saat Pemerintahan Yang Diberi petuah Oleh Seorang Kesatria/Wira

  • Datuk Mencang (Seorang bangsawan dari Brunei), beristrikan Asung Luwan(1555-1594)
  • Singa Laut, Menantu dari Datuk Mencang (1594-1618)
  • Wira Kelana, Putera Singa Laut (1618-1640)
  • Wira Keranda, Putera Wira Kelana (1640-1695)
  • Wira Digendung, putra Wira Keranda (1695-1731)
  • Wira Amir, Putera Wira Digendung Gelar Sultan Amiril Mukminin (1731-1777)

Saat Pemerintahan Yang Diberi petuah Oleh Seorang Sultan

Datu Mansyur (1925-1930)
  • Aji Muhammad/Sultan Alimuddin bin Muhammad Zainul Abidin/Sultan Amiril Mukminin/Wira Amir (1777-1817)
  • Muhammad Alimuddin Amirul Muminin Kahharuddin I bin Sultan Alimuddin (jabatan ke-1) (1817-1861)
  • Muhammad Jalaluddin bin Muhammad Alimuddin (1861-1866)
  • Muhammad Alimuddin Amirul Muminin Kahharuddin I bin Sultan Alimuddin (jabatan ke-2) (1866-1873)
  • Muhammad Khalifatul Berpihak kepada yang sah bin Maoelanna (1873-1875)
  • Muhammad Kahharuddin II bin Maharaja Lela (1875-1889)
  • Sultan Azimuddin bin Sultan Amiril Kaharuddin (1889-1899).
  • Pengian Kesuma (1899-1901). Dia yaitu istri Sultan Azimuddin.
  • Sultan Kasimuddin
  • Datu Mansyur (1925-1930), Pemangku jabatan sultan
  • Maulana Ahmad Sulaimanuddin (1930-1931) menikah dengan Tengku Lailan Syafinah binti alm. Tuanku Sultan Abdul Aziz Abdul Jalil Rakhmat Shah (Sultan Langkat)[7]
  • Maulana Muhammad Jalaluddin (1931-1958)
  • Maulana Al-Mamun Ibni Muhammad Maulana Djalaludin (2013)

Penjajah Belanda menaklukkan Berau pada tahun 1834, disusul penaklukan Kutai pada tahun 1848, dan seterusnya terhadap Bulungan yang ditandai dengan datanganinya kontrak politik selang Sultan Bulungan dengan Belanda pada tahun 1850. Bersemangat untuk melakukan peperangan terhadap pembajakan dan perdagangan budak, dan bersiap untuk melawan pembajakan dan perdagangan budak, Belanda mulai untuk campur tangan di wilayah Bulungan.

Dalam tahun 1853, Bulungan sudah dibawa datang dalam wilayah pengaruh Belanda.[8]

Sampai tahun 1850, Bulungan sah di bawah Kesultanan Sulu.[9] Semasa periode ini, kapal Sulu berkunjung ke Tarakan dan seterusnya di Bulungan untuk perdagangan langsung dengan Tidung. Pengaruh ini akhir-akhirnya pada 1878 dengan penandatanganan kontrak selang Inggris dan Spanyol yang dirancang untuk meniadakan pengaruh Kesultanan Sulu.

Pada 1881, Perusahaan North Borneo Chartered dibuat, yang sekarang merupakan wilayah Sabah, di bawah yurisdiksi Inggris, namun Belanda mulai tidak menerima. Kesultanan itu akhir-akhirnya dibawa datang dalam pemerintahan Hindia Belanda pada tahun 1880-an. Orang Belanda menginstal sebuah pos pemerintah di Tanjung Selor pada tahun 1893. Pada tahun 1900-an, seperti banyak negara-negara kerajaan lain di kepulauan ini, Sultan terpaksa menandatangani Korte Verklaring, pemberitahuan "singkat" yang mengharuskan Sultan menjual sebagian akbar kekuasaannya atas tanah hulu.

Orang Belanda akhir-akhirnya mengakui perbatasan selang dua wilayah hukum pada tahun 1915. Kesultanan ini dikenakan status sebagai wilayah Zelfbestuur, "administrasi sendiri", pada tahun 1928, seperti banyak kerajaan-kerajaan lain di Nusantara yang dikuasai Belanda.

Penemuan minyak oleh BPM (Bataafse Petroleum Maatschappij) di Pulau Bunyu dan Tarakan telah memberikan kontribusi sangat penting bagi perekonomian Bulungan, paling penting untuk orang Belanda, menciptakan sebagai Tarakan sebagai pusat industri minyak pada saat itu.

Sehabis pengakuan kemerdekaan Indonesia dari Kerajaan Belanda, wilayah Bulungan menerima status sebagai Wilayah Swapraja Bulungan atau "wilayah otonom" di Republik Indonesia pada tahun 1950, yaitu Daerah Istimewa setingkat kabupaten pada tahun 1955. Sultan penghabisan, Jalaluddin, meninggal pada tahun 1958. Kesultanan Bulungan dihapuskan secara sepihak pada tahun 1964 dalam kejadian berdarah yang diketahui sebagai Tragedi Bultiken (Bulungan, Tidung, dan Kenyah) dan wilayah Kesultanan Bulungan hanya terjadi kabupaten yang sederhana.

Sumber rujukan

  1. ^ (Belanda) Rees, Willem Adriaan (1865). De bandjermasinsche krijg van 1859-1863. D. A. Thieme. hlm. 2. 
  2. ^ (Indonesia)Sejarah Bulungan di situs Kabupaten Bulungan
  3. ^ Historis sumber usul berau
  4. ^ (Inggris) (1848)The Journal of the Indian archipelago and eastern Asia 2. hlm. 438. 
  5. ^ (Inggris) (2007)"Borneo in 1850". Digital Atlas of Indonesian History. Robert Cribb. Diakses 1 August 2011. 
  6. ^ (Inggris)Indonesian traditional polities
  7. ^ Malam Jahanam di Bulungan
  8. ^ (Belanda) Verhandelingen en Berigten Betrekkelijk het Zeewegen, Zeevaartkunde, de Hydrographie, de Koloniën, Volume 13, 1853
  9. ^ (Inggris) (2007)"Borneo in 1850". Digital Atlas of Indonesian History. Robert Cribb. Diakses 1 August 2011. 

Lihat juga

Pranala luar

 
Kalimantan Barat
Nanga Bunut · Tanjungpura · Pontianak · Kubu · Sintang · Mempawah · Meliau · Sambas kuna · Sambas · Sanggau · Selimbau · Sekadau · Landak · Tayan · Piasak · Jongkong
 
Kalimantan Tengah
 
Kalimantan Selatan
 
Kalimantan Timur
 
Kalimantan Utara
Bulungan · Tidung
 
Malaysia Timur dan Brunei


Sumber :
kategori-antropologi.kurikulum.org, wiki.edunitas.com, id.wikipedia.org, informasi.web.id, dsb.