Baabullah dari Ternate

Sultan Baabullah (10 Februari 1528 - permulaan 1583) adalah sultan dan penguasa Kesultanan Ternate ke-24 yang berkuasa antara tahun 1570 - 1583, dia adalah sultan Ternate dan Maluku terbesar sepanjang sejarah yang berhasil mengalahkan Portugis dan mengantarkan Ternate ke puncak keemasan di belakang 100 tahun ke-16. Sultan Baabullah juga dijuluki sebagai penguasa 72 pulau berpenghuni yang meliputi pulau–pulau di nusantara bagian timur, Mindanao selatan dan kepulauan Marshall.

Masa muda

Dilahirkan tanggal 10 Februari 1528, kaicil (pangeran) Baab adalah putera Sultan Khairun (1535-1570) dengan permaisurinya Boki Tanjung, puteri Sultan Alauddin I dari Bacan. Sultan Khairun sangat memperhatikan proses mengedukasi calon penukarnya, sejak kecil pangeran Baab bersama saudara-saudaranya telah digembleng oleh para mubalig dan panglima dimana dia memperoleh pemahaman tentang ilmu agama dan ilmu perang sekaligus. Sejak remaja dia juga telah turut mendampingi ayahnya menjalankan urusan pemerintahan dan kesultanan.

Ketika pecah perang Ternate–Portugis yang pertama (1559-1567), Sultan Khairun mengutus putera – puteranya sebagai panglima untuk menghantam kedudukan Portugis di Maluku dan Sulawesi, salah satunya adalah pangeran Baab yang kemudian tampil sebagai panglima yang cakap dan berhasil memperoleh kemenangan bagi Ternate. Ternate sukses menahan ambisi Portugis sekaligus memenangkan banyak wilayah baru.

Kematian Sultan Khairun

Sehabis kejatuhan Ambon ke tangan Ternate dalam perang Ternate – Portugis yang pertama, Portugis terpaksa memohon damai kepada sultan Khairun yang kemudian disambut dengan itikad baik. Semua hak-hak istimewa Portugis menyangkut monopoli perdagangan rempah-rempah dihilangkan namun mereka tetap diperbolehkan untuk berdagang dan bersaing dengan pedagang nusantara serta pedagang asing lainnya secara lepas. Perkiraannya permohonan damai Portugis itu hanya kedok untuk mengulur waktu demi mengkonsolidasikan kembali daya mereka, menunggu waktu yang tepat untuk membalas Ternate.

Dengan dalih ingin membicarakan dan merayakan hubungan Ternate – Portugis yang membaik, gubernur Portugis Lopez De Mesquita (1566-1570) mengundang sultan Khairun ke benteng Sao Paulo tanggal 25 Februari 1570 untuk jamuan makan. Sang sultan memenuhi undangan itu dan datang tanpa pengawal, tak dinyana setibanya di benteng dia dibunuh atas perintah De Mesquita. De Mesquita beranggapan dengan mengenyahkan sultan Khairun, Maluku hendak kehilangan pemimpin hebat dan segera tercerai berai, hendak tetapi dia lupa bahwa sultan Khairun mempunyai pewaris – pewaris yang hebat terutama dalam diri pangeran Baab.

Kebangkitan Sultan Baabullah

Penobatan sebagai Sultan

Kematian Sultan Khairun yang tragis memicu kemarahan rakyat dan juga para raja di Maluku, dewan kerajaan atas dukungan rakyat lalu menobatkan Kaicil Baab sebagai Sultan Ternate berikutnya bergelar Sultan Baabullah Datu Syah. Dalam pidato penobatannya Sultan Baabullah bersumpah bahwa dia hendak berjuang untuk menegakkan kembali panji - panji Islam di Maluku dan menjadikan kesultanan Ternate sebagai kerajaan mulia serta melaksanakan tindakan balasan sampai orang terakhir bangsa Portugis meninggalkan wilayah kerajaannya.

Pengumuman Perang Jihad

Sultan Baabullah tidak menunda waktu sehabis penobatan dan pidato pelantikan dibicarakan. Perang Jihad diumumkan di seluruh negeri. Tak kalah dengan ayahnya dia tampil sebagai koordinator yang handal dari berbagai suku yang berbedaan akar genealogis di nusantara bagian timur. Untuk memperkuat kedudukannya Sultan Baabullah menikahi adinda Sultan Iskandar Sani dari Tidore. Raja – raja Maluku yang lainpun melupakan persaingan mereka dan bersatu dalam satu komando di bawah Sultan Baabullah dan panji Ternate, begitu pula raja – raja dan kepala suku di Sulawesi serta Papua. Sultan Baabullah mempunyai panglima – panglima yang handal, di antaranya ; Raja Jailolo Katarabumi, salahakan (gubernur) Sula Kapita Kapalaya, salahakan Ambon Kapita Kalakinka, dan Kapita Rubuhongi. Menurut sumber Spanyol, dibawah panjinya Sultan Baabullah bisa mengerahkan 2000 kora – kora dan 120.000 prajurit.

Pengusiran Portugis

Pasca pembunuhan Sultan Khairun, Sultan Baabullah menuntut penyerahan Lopez de Mesquita untuk diadili. Benteng – benteng Portugis di Ternate yakni Tolucco, Santo Lucia dan Santo Pedro jatuh dalam waktu singkat hanya menyisakan Benteng Sao Paulo kediaman De Mesquita. Atas perintah Baabullah pasukan Ternate mengepung benteng Sao Paulo dan memutuskan hubungannya dengan alam luar, suplai makanan dibatasi hanya sekedar agar penghuni benteng bisa bertahan. Sultan Baabullah bisa saja menguasai benteng itu dengan kekerasan namun dia tak tega karena cukup banyak rakyat Ternate yang telah menikah dengan orang Portugis dan mereka tinggal dalam benteng bersama keluarganya. Karena tertekan Portugis terpaksa memberhentikan Lopez de Mesquita dan menggantinya dengan Alvaro de Ataide namun langkah ini tidak berhasil meluluhkan Baabullah.

Meskipun bersikap “lunak” terhadap Portugis di Sao Paulo, Sultan Baabullah tidak melupakan sumpahnya, dia mencabut segala fasilitas yang diberikan sultan Khairun kepada Portugis terutama menyangkut misi Jesuit. Dia mengobarkan perang Soya – Soya (perang pembebasan negeri), kedudukan Portugis di berbagai tempat digempur mandek – habisan, tahun 1571 pasukan Ternate berdaya 30 juanga yang memuat 3000 serdadu dibawah pimpinan Kapita Kalakinka (Kalakinda) menyerbu Ambon dan berhasil mendudukinya. Pasukan Portugis dibawah kapten Sancho de Vasconcellos yang dibantu pribumi kristen berhasil memukul mundur pasukan Ternate di pulau Buru untuk sementara namun segera jatuh sehabis Ternate memperbaharui penyerangan negaranya kembali dibawah pimpinan Kapita Rubuhongi.

Tahun 1575 seluruh kekuasaan Portugis di Maluku telah jatuh dan suku-suku atau kerajaan pribumi yang mendukung mereka telah berhasil ditundukkan hanya tersisa benteng Sao Paulo yang masih dalam pengepungan. Selama lima tahun orang-orang Portugis dan keluarganya hidup menderita dalam benteng, terputus dari alam luar sebagai balasan atas penghianatan mereka. Sultan Baabullah belakangnya memberi ultimatum agar mereka meninggalkan Ternate dalam waktu 24 jam. Mereka yang telah beristrikan pribumi Ternate diperbolehkan tetap tinggal dengan syarat dijadikan kawula kerajaan. Kemenangan rakyat Ternate ini adalah kemenangan pertama putera-putera Nusantara atas daya barat dan oleh Buya Hamka kemenangan rakyat Ternate ini dipuji sangat penting karena menunda penjajahan barat atas nusantara selama 100 tahun.

Demikianlah, tanggal 15 Juli 1575, orang Portugis pergi secara memalukan dari Ternate, tak satupun yang disakiti. Mereka kemudian diperbolehkan menetap di Ambon hingga 1576, sehabis itu beberapa dari mereka pergi ke Malaka dan beberapa lagi ke Timor dimana mereka menancapkan kekuasaan mereka hingga 400 tahun kemudian.

Kunjungan Francis Drake

Tanggal 3 November 1579, Sultan Baabullah menerima kunjungan Francis Drake (kelak Sir Francis Drake), seorang petualang Inggris yang terkenal. Drake dan kelompoknya datang dari Australia dengan 5 kapal salah satunya Golden Hind yang legendaris. Kepada Sultan Baabullah, Drake menyatakan kedatangannya hanya untuk berdagang semata-mata. Dia mengungkapkan ketidaksukaannya terhadap orang Portugis maupun Spanyol serta menceritakan situasi terakhir di Eropa. Sultan Baab menerima tamunya dengan gembira dan menjamu mereka di istana. Pertemuan mereka adalah embrio hubungan diplomatik IndonesiaInggris.

Dalam jamuan makan mewah yang aci sehabis perundingan, Drake dan rombongan disuguhkan hidangan dari sagu, nasi, bermacam – jenis lauk pauk dari kambing, rusa dan ayam sampai ikan bubara bakar dan katang kanari (kepiting kenari), yang semuanya dimasak dengan ramuan cengkih. Antara Sultan dan Francis Drake timbul rasa saling menghormati. Francis Drake amat terkesan dengan sultan Baabullah. Dia meninggalkan Ternate dengan kapal penuh muatan cengkeh kualitas prima, sang sultan bersama armada Ternate mengiringi kapal Drake sampai ke laut lepas.

Laporan Francis Drake

Sultan Baabullah menyambut para tamu dengan upacara kebesaran dan jamuan istimewa. Laporan Francis Drake seperti yang dimuat Willard A. Hanna dan Des Alwi dalam buku mereka (Ternate dan Tidore masa lalu penuh gejolak, hal 96-97) menggambarkan suasana pertemuan itu ;

“Sementara orang-orang kami menunggu kedatangan sultan kelak kira-kira setengah jam lagi, mereka memperoleh kesempatan lebih baik untuk mengamati semua itu; juga sebelum kedatangan sultan sudah hadir tiga baris tokoh bangsawan tua, yang konon semuanya adalah penasihat pribadi raja; di ujung rumah ditempatkan sekelompok orang muda, berpakaian dan berpenampilan anggun. Di luar rumah, di sebelah kanan, berdiri empat orang dengan rambut ubanan, semuanya berpakaian jubah merah panjang sampai ke tanah, tetapi penutup kepalanya tidak jauh berbedaan dari orang Turki; mereka ini dinamakan orang Rum (Romawi/Eropa), atau orang asing, yang hadir disana sebagai perantara untuk tetap memelihara perdagangan dengan bangsa ini: mereka adalah dua orang Turki, satu orang Italia sebagai perantara dan yang terakhir seorang Spanyol, yang dimerdekakan oleh sultan dari tangan orang Portugis dalam perebutan kembali pulau itu, dan tamat sebagai serdadu untuk mengabdi kepada sultan.
Sultan belakangnya datang dari benteng, dengan 8 atau 10 senator yang mengikuti dia, dinaungi payung yang sangat mewah (dengan alat berselok emas timbul di tengahnya), dan dijaga dengan 12 tombak yang matanya diarahkan ke bawah: orang kami (disertai beradik-berkakak sultan), susunan untuk menemui dia, dan dia dengan sangat ramah menyambut dan berbasa – basi dengan mereka. Seperti telah kami gambarkan sebelumnya, dia bersuara lirih, cakapnya halus, dengan keanggunan sikap seorang sultan, dan seorang dari bangsanya. Pakaiannya menurut mode penduduk lain dari negerinya, tetapi jauh lebih mewah, sebagaimana dituntut oleh keberadaan dan statusnya; dari pinggang ke tanah dia mengenakan kain bersulam emas, sepatu dari beludru berwarna merah; alat berselok kepalanya bertatahkan berbagai cincin berikat emas, selebar satu atau satu setengah inci, yang membuatnya indah dan luhur dipandang, mirip seperti mahkota; di lehernya dia mengenakan kalung rantai dari emas murni yang mata rantainya mulia sekali dan satu rangkaian rangkap; di tangan kirinya terdapat Intan, batu Zamrud, batu Merah Delima dan batu Pirus, 4 batu permata yang sangat indah dan sempurna; di tangan kanannya; pada satu cincin terdapat satu batu Pirus mulia dan sempurna, dan pada cincin lain terdapat banyak Intan mempunyai ukuran lebih kecil, yang ditatahkan dengan sangat indah.
Demikianlah dia duduk di atas tahta kerajaannya, dan di sebelah kanan berdiri seorang pelayan dengan sebuah kipas sangat mahal (tersulam dengan kaya dan terhias dengan batu nilam). Dia mengipas dan mengumpulkan udara untuk menyejukkan sultan, karena tempatnya panas sekali, baik oleh sinar matahari maupun kumpulan begitu banyak orang. Sesudah beberapa waktu, sehabis para tuan menyampaikan pesan mereka, dan memperoleh jawaban, mereka diizinkan untuk pamit, dan dengan selamat di antara kembali oleh salah satu ketua Dewan Sultan, yang ditugaskan oleh sultan sendiri untuk melaksanakan hal itu.”

Sultan Baabullah dan masa keemasan Ternate

Dengan kepergian orang Portugis, Sultan Baabullah menjadikan benteng Sao Paulo sebagai benteng sekaligus istana, dia merenovasi dan memperkuat benteng tersebut kemudian mengubah namanya dijadikan benteng Gamalama. Sultan Baabullah masih melanjutkan hubungan dagang dengan bangsa barat termasuk Portugis dan mengizinkan mereka menetap di Tidore, hendak tetapi tanpa pemberian hak istimewa, para pedagang barat diperlakukan sama dengan pedagang – pedagang dari negeri lain dan mereka tetap diawasi dengan ketat. Sultan Baabullah bahkan mengeluarkan peraturan yang mewajibkan setiap bangsa Eropa yang tiba di Ternate untuk meloloskan topi dan sepatu mereka, sekedar untuk mengingatkan mereka agar tidak lupa diri.

Sultan Baabullah tetap memelihara persekutuan yang telah terwujud dan sering mengadakan kunjungan ke wilayah – wilayah yang mendukung Ternate dan menuntut kesetiaan mereka terhadap persekutuan yang diketuainya. Tahun 1580 Sultan Baabullah mengunjungi Makassar dan mengadakan pertemuan dengan raja Gowa Tunijallo, mengajaknya masuk Islam dan ikut serta dalam persekutuan melawan Portugis dan Spanyol. Sang raja tak langsung menyutujui anjuran Sultan untuk memeluk Islam namun setuju untuk ikut dalam persekutuan kemudian sebagai tanda persahabatan Sultan Baabullah menghadiahkan pulau Selayar kepada Raja Gowa.

Dibawah pimpinan Sultan Baabullah, Ternate sampai puncak kejayaan, wilayah kekuasaan dan pengaruhnya membentang dari Sulawesi Utara, tengah dan timur di bagian barat hingga kepulauan Marshall dibagian timur, dari Filipina (Selatan) di bagian utara hingga sejauh kepulauan Kai dan Nusa Tenggara dibagian selatan. Tiap wilayah atau daerah ditempatkan wakil – wakil sultan atau yang dinamakan Sangaji. Sultan Baabullah dijuluki “penguasa 72 negeri” yang semuanya mempunyai raja yang tunduk kepadanya (sejarawan Belanda, Valentijn memberitahukan secara rinci nama-nama ke-72 negeri tersebut) hingga menjadikan kesultanan Ternate sebagai kerajaan Islam terbesar di Indonesia timur.

Sultan Baab tetap melanjutkan kebijakan ayahnya dengan menjalin persekutuan dengan Aceh dan Demak untuk mengenyahkan Portugis dari Nusantara. Persekutuan Aceh – Demak – Ternate ini adalah simbol persatuan nusantara karena ketiganya sebagai yang terbesar dan terkuat di masa itu merangkai wilayah barat. tengah dan timur nusantara dalam satu ikatan persaudaraan, mewujudkan kembali persatuan nusantara sejak keruntuhan Majapahit.

Ternate pasca Baabullah

Permulaan tahun 1583 Sultan Baabullah dipanggil menghadap Sang Khaliq. Adapun penyebab maupun tempat kematiannya masih dijadikan bahan debat, namun apapun dan dimanapun itu kematian Sultan Baab sebagai putera kebanggaan Maluku meninggalkan duka mendalam bagi rakyatnya. Dia adalah satu-satunya putera Nusantara yang meraih kemenangan mutlak atas daya barat. Keberhasilannya mengantarkan Ternate dijadikan kerajaan mulia dan sampai puncak kejayaan bukanlah satu – satunya tanda kebesarannya. Dia telah berhasil menanamkan rasa percaya diri rakyatnya untuk bangkit menghadapi kekuasaan asing yang ingin menguasai kehidupan mereka. Sultan Baabullah adalah simbol perlawanan terhadap kesewenang – wenangan bangsa asing. Dia tak sudi tunduk pada kekuasaan asing dan menempatkan dirinya sejajar dengan mereka, dijadikan tuan di negeri sendiri. Sepeninggal Sultan Baabullah tak hadir lagi pemimpin lain di Ternate maupun Maluku yang sekaliber dia. Para penukarnya tak bisa berbuat banyak mempertahankan kebesaran Ternate.

Sultan Baabullah Datu Syah digantikan puteranya Sultan Said Barakati (1583 – 1606) yang terus mengobarkan perang terhadap Portugis dan Spanyol.

Sumber acuan

  • M. Adnan Amal, "Maluku Utara, Pergerakan Sejarah 1250 - 1800 Jilid I", Universitas Khairun Ternate 2002.
  • Willard A. Hanna & Des Alwi, "Ternate dan Tidore, Masa Lalu Penuh Gejolak", Pustaka Sinar Harapan Jakarta 1996.


Sumber :
wiki.edunitas.com, id.wikipedia.org, m.andrafarm.com, kategori-antropologi.program-reguler.co.id, dsb.