eduNitas.com
Read too :  Job Vacancies    Online College Programs in the Best 168 PTS    Scholarship Indonesia Application   . . . . see more
Toll-free service = 0800 1234 000
G-30
Agriculture   ⍃ Cape Verde   ⍃ Labuhanbatu Selatan   ⍃ Language   ⍃ Military   ⍃ North America   ⍃ Science   ⍃ Wales
A B C E 
Free fall motion
(Previous headline)
The student movement in Indonesia
(Next headline)

Gerakan 30 September

Artikel ini anggota dari seri
Sejarah Indonesia
Sejarah Indonesia .png
Lihat pula:
Garis waktu sejarah Indonesia
Sejarah Nusantara
Prasejarah
Kerajaan Hindu-Buddha
Kutai (abad ke-4)
Tarumanagara (358–669)
Sriwijaya (abad ke-7 hingga ke-11)
Sailendra (abad ke-8 hingga ke-9)
Kerajaan Medang (752–1045)
Kerajaan Sunda (932–1579)
Kediri (1045–1221)
Dharmasraya (abad ke-12 hingga ke-14)
Singhasari (1222–1292)
Majapahit (1293–1500)
Malayapura (abad ke-14 hingga ke-15)
Kerajaan Islam
Kesultanan Samudera Pasai (1267-1521)
Kesultanan Ternate (1257–sekarang)
Kerajaan Pagaruyung (1500-1825)
Kesultanan Malaka (1400–1511)
Kerajaan Inderapura (1500-1792)
Kesultanan Demak (1475–1548)
Kesultanan Aceh (1496–1903)
Kesultanan Banten (1527–1813)
Kesultanan Cirebon (1552 - 1677)
Kesultanan Mataram (1588—1681)
Kesultanan Siak (1723-1945)
Kerajaan Kristen
Kerajaan Larantuka (1600-1904)
Kolonialisme bangsa Eropa
Portugis (1512–1850)
VOC (1602-1800)
Belanda (1800–1942)
Kemunculan Indonesia
Kebangkitan Nasional (1899-1942)
Penguasaan Jepang (1942–1945)
Revolusi nasional (1945–1950)
Indonesia Bebas sama sekali
Orde Lama (1950–1959)
Demokrasi Terpimpin (1959–1966)
Orde Baru (1966–1998)
Era Reformasi (1998–sekarang)

Gerakan 30 September atau yang sering disingkat G 30 S PKI, G-30S/PKI, Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh), Gestok (Gerakan Satu Oktober) yaitu sebuah peristiwa yang dibuat bentuk menjadi selewat malam tanggal 30 September hingga di permulaan 1 Oktober 1965 di mana enam perwira tinggi militer Indonesia beserta sebagian orang lainnya dibunuh dalam suatu usaha percobaan kudeta yang belakang dituduhkan kepada anggota Partai Komunis Indonesia.

Daftar konten

Latar belakang

Perayaan Milad PKI yang ke 45 di Jakarta pada permulaan tahun 1965

PKI adalah partai komunis yang terbesar di seluruh dunia, di luar Tiongkok dan Uni Soviet. Anggotanya berjumlah sekitar 3,5 juta, ditambah 3 juta dari pergerakan pemudanya. PKI juga mengontrol pergerakan serikat buruh yang memiliki 3,5 juta anggota dan pergerakan petani Barisan Tani Indonesia yang memiliki 9 juta anggota. Termasuk pergerakan wanita (Gerwani), organisasi penulis dan artis dan pergerakan sarjananya, PKI memiliki bertambah dari 20 juta anggota dan pendukung.

Pada bulan Juli 1959 parlemen ditiadakan dan Sukarno mengambil keputusan konstitusi di bawah dekrit presiden - sekali kembali dengan dukungan penuh dari PKI. Ia memperkuat tangan tingkatan bersenjata dengan mengangkat para jendral militer ke posisi-posisi yang penting. Sukarno menjalankan sistem "Demokrasi Terpimpin". PKI menanggapi "Demokrasi Terpimpin" Sukarno dengan hangat dan anggapan bahwa dia memiliki mandat kepada persekutuan Konsepsi yaitu selang Nasionalis, Agama dan Komunis yang dinamakan NASAKOM.

Pada era "Demokrasi Terpimpin", kolaborasi selang kepemimpinan PKI dan kaum burjuis nasional dalam menekan pergerakan-pergerakan independen kaum buruh dan petani, gagal memecahkan masalah-masalah politis dan ekonomi yang mendesak. Pendapatan ekspor menurun, foreign reserves menurun, inflasi terus menaik dan korupsi birokrat dan militer dibuat bentuk sebagai wabah.

Tingkatan kelima

Pada kunjungan Menlu Subandrio ke Tiongkok, Perdana Menteri Zhou Enlai menjanjikan 100.000 pucuk senjata macam chung, penawaran ini gratis tanpa syarat dan belakang dilaporkan ke Bung Karno tetapi belum juga mengambil keputusan waktunya hingga meletusnya G30S.

Pada permulaan tahun 1965 Bung Karno atas saran dari PKI kesudahan suatu peristiwa dari tawaran perdana mentri RRC, memiliki konsep tentang Tingkatan Kelima yang merdeka terlepas dari ABRI. Tetapi petinggi Tingkatan Darat tanpa setuju dan hal ini bertambah menimbulkan nuansa curiga-mencurigai selang militer dan PKI.

Dari tahun 1963, kepemimpinan PKI makin lama makin berusaha memprovokasi bentrokan-bentrokan selang aktivis massanya dan polisi dan militer. Pemimpin-pemimpin PKI juga menginfiltrasi polisi dan tentara denga slogan "kepentingan bersama" polisi dan "rakyat". Pemimpin PKI DN Aidit mengilhami slogan "Kepada Ketentraman Umum Bantu Polisi". Di bulan Agustus 1964, Aidit menganjurkan semua anggota PKI membersihkan diri dari "sikap-sikap sektarian" kepada tingkatan bersenjata, mengimbau semua pengarang dan seniman sayap-kiri kepada memproduksi "massa tentara" subjek karya-karya mereka.

Di belakang 1964 dan permulaan 1965 ribuan petani melakukan usaha merampas tanah yang bukan hak mereka atas hasutan PKI. Bentrokan-bentrokan agung dibuat bentuk menjadi selang mereka dan polisi dan para pemilik tanah.

Bentrokan-bentrokan tersebut dipicu oleh propaganda PKI yang menyatakan bahwa petani berhak atas setiap tanah, tanpa peduli tanah siapapun (milik negara = punya bersama). Kemungkinan agung PKI meniru revolusi Bolsevik di Rusia, di mana di sana warga dan partai komunis menyita punya Tsar dan membagi-bagikannya kepada warga.

Pada permulaan 1965, para buruh mulai menyita perusahaan-perusahaan karet dan minyak punya Amerika Serikat. Kepemimpinan PKI menjawab ini dengan memasuki pemerintahan dengan resmi. Pada waktu yang sama, jenderal-jenderal militer tingkat tinggi juga dibuat bentuk sebagai anggota kabinet. Jendral-jendral tersebut masuk kabinet karena jabatannya di militer oleh Sukarno disamakan dengan setingkat mentri. Hal ini dapat dibuktikan dengan nama jabatannya (Menpangab, Menpangad, dan lain-lain).

Menteri-menteri PKI tanpa hanya duduk di sebelah para petinggi militer di dalam kabinet Sukarno ini, tetapi mereka terus mendorong ilusi yang sangat berbahaya bahwa tingkatan bersenjata yaitu adalah anggota dari revolusi demokratis "rakyat".

Pengangkatan Jenazah di Lubang Buaya

Aidit memberikan ceramah kepada siswa-siswa sekolah tingkatan bersenjata di mana ia berbicara tentang "perasaan kebersamaan dan persatuan yang bertambah kuat setiap hari selang tentara Republik Indonesia dan unsur-unsur masyarakat Indonesia, termasuk para komunis".

Rezim Sukarno mengambil langkah terhadap para pekerja dengan melarang aksi-aksi mogok di industri. Kepemimpinan PKI tanpa berkeberatan karena industri menurut mereka yaitu punya pemerintahan NASAKOM.

Tanpa lama PKI mengenal dengan jelas persiapan-persiapan kepada pembentukan rezim militer, menyatakan kebutuhan kepada pendirian "angkatan kelima" di dalam tingkatan bersenjata, yang terdiri dari pekerja dan petani yang bersenjata. Bukannya memperjuangkan mobilisasi massa yang merdeka kepada melawan ancaman militer yang masih berkembang itu, kepemimpinan PKI malah berusaha kepada membatasi pergerakan massa yang makin mendalam ini dalam batas-batas hukum kapitalis negara. Mereka, depan jendral-jendral militer, berusaha menenangkan bahwa usul PKI akan memperkuat negara. Aidit menyatakan dalam laporan ke Komite Sentral PKI bahwa "NASAKOMisasi" tingkatan bersenjata dapat dicapai dan mereka akan bekerjasama kepada menciptakan "angkatan kelima". Kepemimpinan PKI tanpa berubah berusaha menekan aspirasi revolusioner kaum buruh di Indonesia. Di bulan Mei 1965, Politbiro PKI masih mendorong ilusi bahwa aparatus militer dan negara masih diubah kepada mengecilkan bidang anti-rakyat dalam alat-alat negara.

Isu sakitnya Bung Karno

Sejak tahun 1964 hingga menjelang meletusnya G30S telah beredar isu sakit parahnya Bung Karno. Hal ini meningkatkan kasak-kusuk dan isu perebutan kekuasaan apabila Bung Karno meninggal. Tapi menurut Subandrio, Aidit tahu persis bahwa Bung Karno hanya sakit ringan saja, berlaku hal ini bukan adalah argumen PKI melakukan sikap yang dibuat tersebut.

Isu masalah tanah dan bagi hasil

Pada tahun 1960 keluarlah Undang-Undang Pokok Agraria (UU Pokok Agraria) dan Undang-Undang Pokok Bagi Hasil (UU Bagi Hasil) yang sebenarnya adalah kelanjutan dari Panitia Agraria yang dibuat bentuk pada tahun 1948. Panitia Agraria pemroduksi UUPA terdiri dari wakil pemerintah dan wakil bermacam ormas tani yang mencerminkan 10 daya partai politik pada saat itu. Walaupun undang-undangnya sudah tidak kekurangan tapi pelaksanaan di daerah tanpa jalan sehingga menimbulkan gesekan selang para petani penggarap dengan pihak pemilik tanah yang takut terkena UUPA, melibatkan sebagian massa pengikutnya dengan melibatkan backing aparat keamanan. Peristiwa yang menonjol dalam rangka ini selang lain peristiwa Bandar Betsi di Sumatera Utara dan peristiwa di Klaten yang dinamakan sebagai ‘aksi sepihak’ dan belakang dipergunakan sebagai dalih oleh militer kepada membersihkannya.

Keributan selang PKI dan Islam (tidak hanya NU, tapi juga dengan Persis dan Muhammadiyah) itu pada landasannya dibuat bentuk menjadi di hampir semua tempat di Indonesia, di Jawa Barat, Jawa Timur, dan di propinsi-propinsi lain juga dibuat bentuk menjadi hal demikian, PKI di sebagian tempat bahkan sudah mengancam kyai-kyai bahwa mereka akan dipangkas setelah tanggal 30 September 1965 (hal ini membuktikan bahwa seluruh elemen PKI mengenal rencana kudeta 30 September tersebut).


Faktor Malaysia

Negara Federasi Malaysia yang baru terwujud pada tanggal 16 September 1963 yaitu salah satu faktor penting dalam insiden ini[1]. Konfrontasi Indonesia-Malaysia adalah salah satu penyebab kedekatan Presiden Soekarno dengan PKI, menjelaskan motivasi para tentara yang menggabungkan diri dalam gerakan G30S/Gestok (Gerakan Satu Oktober), dan juga pada belakangnya menyebabkan PKI melakukan penculikan petinggi Tingkatan Darat.

Sejak demonstrasi anti-Indonesia di Kuala Lumpur, di mana para demonstran menyerbu gedung KBRI, merobek-robek foto Soekarno, membawa simbol negara Garuda Pancasila ke hadapan Tunku Abdul RahmanPerdana Menteri Malaysia saat itu—dan memaksanya kepada menginjak Garuda, amarah Soekarno terhadap Malaysia pun meledak.

Soekarno yang murka karena hal itu mengutuk sikap yang dibuat Tunku yang menginjak-injak simbol negara Indonesia[2] dan berhasrat melakukan balas dendam dengan melancarkan gerakan yang terkenal dengan sebutan "Ganyang Malaysia" kepada negara Federasi Malaysia yang telah sangat menghina Indonesia dan presiden Indonesia. Perintah Soekarno kepada Tingkatan Darat kepada meng"ganyang Malaysia" diberi jawaban dengan dingin oleh para jenderal pada saat itu. Di satu pihak Letjen Ahmad Yani tanpa berhasrat melawan Malaysia yang dibantu oleh Inggris dengan anggapan bahwa tentara Indonesia pada saat itu tanpa memadai kepada peperangan dengan skala tersebut, sedangkan di pihak lain Kepala Staf TNI Tingkatan Darat A.H. Nasution setuju dengan usulan Soekarno karena ia mengkhawatirkan isu Malaysia ini akan ditunggangi oleh PKI kepada memperkuat jabatannya di percaturan politik di Indonesia.

Jabatan Tingkatan Darat pada saat itu serba salah karena di satu pihak mereka tanpa sungguh-sungguh mereka dapat mengalahkan Inggris, dan di lain pihak mereka akan menghadapi Soekarno yang mengamuk jika mereka tanpa berperang. Belakangnya para pemimpin Tingkatan Darat memilihkan pilihan kepada berperang setengah hati di Kalimantan. Tak ajab, Brigadir Jenderal Suparjo, komandan pasukan di Kalimantan Barat, mengeluh, konfrontasi tak diperllihatkan sepenuh hati dan ia merasa operasinya disabotase dari belakang[3]. Hal ini juga dapat diamati dari kegagalan operasi gerilya di Malaysia, padahal tentara Indonesia sebenarnya sangat berbakat dalam peperangan gerilya.

Mengenal bahwa tentara Indonesia tanpa mendukungnya, Soekarno merasa kecewa dan berbalik mencari dukungan PKI kepada melampiaskan amarahnya kepada Malaysia. Soekarno, seperti yang ditulis di otobiografinya, mengakui bahwa ia yaitu seorang yang memiliki harga diri yang sangat tinggi, dan tanpa tidak kekurangan yang dapat diperllihatkan kepada mengubah harapannya meng"ganyang Malaysia".

Soekarno yaitu seorang individualis. Manusia jang tjongkak dengan suara-batin yang menjala-njala, manusia jang mengakui bahwa ia mentjintai dirinja sendiri tanpa mungkin mendjadi satelit jang melekat pada bangsa lain. Soekarno tanpa mungkin menghambakan diri pada dominasi kekuasaan manapun djuga. Dia tanpa mungkin dibuat bentuk sebagai boneka.

Di pihak PKI, mereka dibuat bentuk sebagai pendukung terbesar gerakan "ganyang Malaysia" yang mereka anggap sebagai antek Inggris, antek nekolim. PKI juga memanfaatkan peluang itu kepada keuntungan mereka sendiri, berlaku motif PKI kepada mendukung kebijakan Soekarno tanpa sepenuhnya idealis.

Pada saat PKI memperoleh angin segar, justru para penentangnyalah yang menghadapi kondisi yang buruk; mereka mengawasi jabatan PKI yang kian menguat sebagai suatu ancaman, ditambah hubungan internasional PKI dengan Partai Komunis sedunia, khususnya dengan tidak kekurangannya poros Jakarta-Beijing-Moskow-Pyongyang-Phnom Penh. Soekarno juga mengenal hal ini, tapi ia mengambil keputusan kepada mendiamkannya karena ia masih berhasrat meminjam daya PKI kepada konfrontasi yang masih berlanjut, karena jabatan Indonesia yang melemah di sekeliling yang terkait internasional sejak keluarnya Indonesia dari PBB (20 Januari 1965).

Dari sebuah dokumen rahasia badan intelejen Amerika Serikat (CIA) yang baru dibentangkan yang bertanggalkan 13 Januari 1965 menyebutkan sebuah dialog santai Soekarno dengan para pemimpin sayap kanan bahwa ia masih memerlukan dukungan PKI kepada menghadapi Malaysia dan oleh maka ia tanpa dapat menindak tegas mereka. Tapi ia juga menegaskan bahwa suatu waktu "giliran PKI akan tiba. "Soekarno berbicara, "Kamu dapat dibuat bentuk sebagai kenalan atau musuh diri sendiri. Itu terserah kamu. ... Untukku, Malaysia itu musuh nomor satu. Suatu saat diri sendiri akan memberesi PKI, tetapi tanpa kini."[2]

Dari pihak Tingkatan Darat, perpecahan internal yang dibuat bentuk menjadi mulai mencuat ketika jumlah tentara yang lebih banyak dari Divisi Diponegoro yang kesal serta kecewa kepada sikap petinggi Tingkatan Darat yang takut kepada Malaysia, berperang hanya dengan setengah hati, dan berkhianat terhadap misi yang diberikan Soekarno. Mereka mengambil keputusan kepada berkomunikasi dengan penghuni dari PKI kepada membersihkan tubuh Tingkatan Darat dari para jenderal ini.

Faktor Amerika Serikat

Amerika Serikat pada waktu itu masih terlibat dalam perang Vietnam dan berusaha sekuat tenaga supaya Indonesia tanpa jatuh ke tangan komunisme. Peranan badan intelejen Amerika Serikat (CIA) pada peristiwa ini sebatas memberikan 50 juta rupiah (uang saat itu) kepada Adam Malik dan walkie-talkie serta obat-obatan kepada tentara Indonesia. Politisi Amerika pada bulan-bulan yang memastikan ini dihadapkan pada masalah yang membingungkan karena mereka merasa ditarik oleh Sukarno ke dalam konfrontasi Indonesia-Malaysia ini.

Salah satu pandangan menceritakan bahwa peranan Amerika Serikat dalam hal ini tanpa agung, hal ini dapat diamati dari telegram Duta Agung Green ke Washington pada tanggal 8 Agustus 1965 yang mengeluhkan bahwa usahanya kepada melawan propaganda anti-Amerika di Indonesia tanpa memberikan hasil bahkan tanpa berharga tidak dengan syarat apa-apa. Dalam telegram kepada Presiden Johnson tanggal 6 Oktober, kaki tangan CIA menyatakan ketidakpercayaan kepada sikap yang dibuat PKI yang dirasa tanpa masuk daya upaya karena situasi politis Indonesia yang sangat menguntungkan mereka, dan hingga belakang Oktober masih dibuat bentuk menjadi kebingungan atas pembantaian di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali diperllihatkan oleh PKI atau NU/PNI.

Pandangan lain, terutama dari kalangan korban dari insiden ini, menyebutkan bahwa Amerika dibuat bentuk sebagai aktor di kembali layar dan setelah dekrit Supersemar Amerika memberikan daftar nama-nama anggota PKI kepada militer kepada dibunuh. Tapi hingga saat ini kedua pandangan tersebut tanpa memiliki jumlah bukti-bukti fisik.

Faktor ekonomi

Ekonomi masyarakat Indonesia pada waktu itu yang sangat rendah mengakibatkan dukungan warga kepada Soekarno (dan PKI) meluntur. Mereka tanpa sepenuhnya menerima kebijakan "ganyang Malaysia" yang dianggap akan kian memperparah kondisi Indonesia.

Inflasi yang mencapai 650% memproduksi harga konsumsi melambung tinggi, warga kelaparan dan terpaksa harus antri beras, minyak, gula, dan barang-barang kebutuhan pokok lainnya. Sebagian faktor yang berlagak kenaikan harga ini yaitu keputusan Suharto-Nasution kepada meningkatkan gaji para tentara 500% dan penganiayaan terhadap kaum pedagang Tionghoa yang menyebabkan mereka kabur. Sebagai kesudahan suatu peristiwa dari inflasi tersebut, jumlah warga Indonesia yang sehari-hari hanya makan bonggol pisang, umbi-umbian, gaplek, serta bahan konsumsi yang tanpa layak dikonsumsi lainnya; pun mereka memakai kain dari karung sebagai pakaian mereka.

Faktor ekonomi ini dibuat bentuk sebagai salah satu sebab kemarahan warga atas pembunuhan keenam jenderal tersebut, yang mempunyai kesudahan suatu peristiwa tidak kekurangannya backlash terhadap PKI dan pembantaian penghuni yang dituduh anggota PKI di Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali serta tempat-tempat lainnya.

Peristiwa

Sumur Lubang Buaya

Pada 1 Oktober 1965 dini hari, enam jenderal senior dan sebagian orang lainnya dibunuh dalam usaha kudeta yang dilempar kesalahan ke kepada para pengawal istana (Cakrabirawa) yang dianggap loyal kepada PKI dan pada saat itu dipandu oleh Letkol. Untung. Panglima Komando Strategi Tingkatan Darat saat itu, Mayjen Soeharto belakang mengadakan penumpasan terhadap gerakan tersebut.

Isu Dewan Jenderal

Pada saat-saat yang genting sekitar bulan September 1965 menyembul isu tidak kekurangannya Dewan Jenderal yang mengungkapkan tidak kekurangannya sebagian petinggi Tingkatan Darat yang tanpa senang terhadap Soekarno dan bermaksud kepada menggulingkannya. Menanggapi isu ini, Soekarno disebut-sebut memerintahkan pasukan Cakrabirawa kepada menangkap dan membawa mereka kepada diadili oleh Soekarno. Tapi yang tanpa diduga-duga, dalam operasi penangkapan jenderal-jenderal tersebut, dibuat bentuk menjadi sikap yang dibuat sebagian oknum yang termakan emosi dan membunuh Letjen Ahmad Yani, Panjaitan, dan Harjono.

Isu Dokumen Gilchrist

Dokumen Gilchrist yang diambil dari nama duta agung Inggris kepada Indonesia Andrew Gilchrist beredar hampir bersamaan waktunya dengan isu Dewan Jenderal. Dokumen ini, yang oleh sebagian pihak dinamakan sebagai pemalsuan oleh intelejen Ceko di bawah pengawasan Jenderal Agayant dari KGB Rusia, menyebutkan tidak kekurangannya "Kenalan Tentara Lokal Kita" yang mengesankan bahwa perwira-perwira Tingkatan Darat telah dibeli oleh pihak Barat[4]. Kedutaan Amerika Serikat juga dituduh memberikan daftar nama-nama anggota PKI kepada tentara kepada "ditindaklanjuti". Dinas intelejen Amerika Serikat mendapat data-data tersebut dari bermacam asal, salah satunya seperti yang ditulis John Hughes, wartawan The Nation yang menulis buku "Indonesian Upheaval", yang dibuat bentuk sebagai basis skenario film "The Year of Living Dangerously", ia sering menukar data-data apa yang ia kumpulkan kepada mendapatkan sarana teleks kepada mengirimkan berita.

Isu Keterlibatan Soeharto

Hingga saat ini tanpa tidak kekurangan bukti keterlibatan/peran aktif Soeharto dalam tingkah laku yang dibuat penculikan tersebut. Satu-satunya bukti yang dapat dielaborasi yaitu pertemuan Soeharto yang saat itu menjabat sebagai Pangkostrad (pada zaman itu jabatan Panglima Komando Strategis Cadangan Tingkatan Darat tanpa membawahi pasukan, berbeda dengan sekarang) dengan Kolonel Abdul Latief di Rumah Sakit Tingkatan Darat.

Meski demikian, Suharto adalah pihak yang paling diuntungkan dari peristiwa ini. Jumlah penelitian ilmiah yang sudah dipasarkan di jurnal internasional mengungkap keterlibatan Suharto dan CIA. Sebagian selang lain yaitu, Cornell Paper, karya Benedict R.O'G. Anderson and Ruth T. McVey (Cornell University), Ralph McGehee (The Indonesian Massacres and the CIA), Government Printing Office of the US (Department of State, INR/IL Historical Files, Indonesia, 1963-1965. Secret; Priority; Roger Channel; Special Handling), John Roosa (Pretext for Mass Murder: The September 30th Movement and Suharto's Coup d'État in Indonesia), Prof. Dr. W.F. Wertheim (Serpihan Sejarah Th65 yang Terlupakan).

Korban

Keenam pejabat tinggi yang dibunuh tersebut adalah:

  • Letjen TNI Ahmad Yani (Menteri/Panglima Tingkatan Darat/Kepala Staf Komando Operasi Tertinggi)
  • Mayjen TNI Raden Suprapto (Deputi II Menteri/Panglima AD bidang Administrasi)
  • Mayjen TNI Mas Tirtodarmo Haryono (Deputi III Menteri/Panglima AD bidang Perencanaan dan Pembinaan)
  • Mayjen TNI Siswondo Parman (Asisten I Menteri/Panglima AD bidang Intelijen)
  • Brigjen TNI Donald Isaac Panjaitan (Asisten IV Menteri/Panglima AD bidang Logistik)
  • Brigjen TNI Sutoyo Siswomiharjo (Inspektur Kehakiman/Oditur Jenderal Tingkatan Darat)

Jenderal TNI Abdul Harris Nasution yang dibuat bentuk sebagai sasaran utama, selamat dari usaha pembunuhan tersebut. Sebaliknya, putrinya Ade Irma Suryani Nasution dan ajudan beliau, Lettu CZI Pierre Andreas Tendean tewas dalam usaha pembunuhan tersebut.

Kecuali itu sebagian orang lainnya juga turut dibuat bentuk sebagai korban:

Para korban tersebut belakang dibuang ke suatu lokasi di Pondok Gede, Jakarta yang diketahui sebagai Lubang Buaya. Mayat mereka ditemukan pada 3 Oktober.

Pasca peristiwa

Pemakaman para pahlawan revolusi. Tampak Mayjen Soeharto di sebelah kanan

Pasca pembunuhan sebagian perwira TNI AD, PKI dapat menduduki dua sarana komunikasi vital, yaitu studio RRI di Jalan Bebas sama sekali Barat dan Kantor Telekomunikasi yang terletak di Jalan Bebas sama sekali Selatan. Melewati RRI, PKI menyiarkan pengumuman tentang Gerakan 30 September yang ditujukan kepada para perwira tinggi anggota “Dewan Jenderal” yang akan mengadakan kudeta terhadap pemerintah. Diumumkan pula terwujudnya “Dewan Revolusi” yang dipandu oleh Letkol Untung Sutopo.

Di Jawa Tengah dan DI. Yogyakarta, PKI melakukan pembunuhan terhadap Kolonel Katamso (Komandan Korem 072/Yogyakarta) dan Letnan Kolonel Sugiyono (Kepala Staf Korem 072/Yogyakarta). Mereka diculik PKI pada sore hari 1 Oktober 1965. Kedua perwira ini dibunuh karena secara tegas mengusir berkomunikasi dengan Dewan Revolusi. Pada tanggal 1 Oktober 1965 Sukarno dan sekretaris jendral PKI Aidit menanggapi pembentukan Dewan Revolusioner oleh para "pemberontak" dengan berpindah ke Pangkalan Tingkatan Udara Halim di Jakarta kepada mencari pengamanan.

Pada tanggal 6 Oktober Sukarno mengimbau warga kepada menciptakan "persatuan nasional", yaitu persatuan selang tingkatan bersenjata dan para korbannya, dan pembubaran kekerasan. Biro Politik dari Komite Sentral PKI segera menganjurkan semua anggota dan organisasi-organisasi massa kepada mendukung "pemimpin revolusi Indonesia" dan tanpa melawan tingkatan bersenjata. Pernyataan ini dicetak ulang di koran CPA bernama "Tribune".

Pada tanggal 12 Oktober 1965, pemimpin-pemimpin Uni-Soviet Brezhnev, Mikoyan dan Kosygin mengirim pesan khusus kepada Sukarno: "Kami dan rekan-rekan kami bergembira kepada mendengar bahwa kesehatan anda telah membaik...Kami mendengar dengan penuh minat tentang pidato anda di radio kepada seluruh warga Indonesia kepada tanpa berubah tenang dan menghindari kekacauan...Imbauan ini akan dimengerti secara mendalam."

Pada tanggal 16 Oktober 1965, Sukarno melantik Mayjen Suharto dibuat bentuk sebagai Menteri/Panglima Tingkatan Darat di Istana Negara. Berikut kutipan amanat presiden Sukarno kepada Suharto pada saat Suharto disumpah[5]:

Diri sendiri perintahkan kepada Jenderal Mayor Soeharto, kini Tingkatan Darat pimpinannya diri sendiri berikan kepadamu, buatlah Tingkatan Darat ini satu Tingkatan dari pada Republik Indonesia, Tingkatan Bersenjata daripada Republik Indonesia yang tidak dengan syarat apa-apa menjalankan Panca Azimat Revolusi, yang tidak dengan syarat apa-apa berdiri di atas Trisakti, yang tidak dengan syarat apa-apa berdiri di atas Nasakom, yang tidak dengan syarat apa-apa berdiri di atas prinsip Berdikari, yang tidak dengan syarat apa-apa berdiri atas prinsip Manipol-USDEK.

Manipol-USDEK telah diteguhkan oleh lembaga kami yang tertinggi sebagai haluan negara Republik Indonesia. Dan oleh karena Manipol-USDEK ini yaitu haluan daripada negara Republik Indonesia, maka dia harus dijunjung tinggi, dijalankan, dipupuk oleh semua kami. Oleh Tingkatan Darat, Tingkatan Laut, Tingkatan Udara, Tingkatan Kepolisian Negara. Hanya jikalau kami berdiri benar-benar di atas Panca Azimat ini, kami semuanya, maka barulah revousi kami dapat jaya.

Soeharto, sebagai panglima Tingkatan Darat, dan sebagai Menteri dalam kabinetku, diri sendiri perintahkan engkau, kerjakan apa yang kuperintahkan kepadamu dengan sebaik mungkin. Diri sendiri doakan Tuhan selalu beserta kami dan beserta engkau!

Dalam sebuah Konferensi Tiga Benua di Havana di bulan Februari 1966, perwakilan Uni-Sovyet berusaha dengan segala kemampuan mereka kepada menghindari pengutukan atas penangkapan dan pembunuhan penghuni yang dituduh sebagai PKI, yang masih dibuat bentuk menjadi terhadap warga Indonesia. Pendirian mereka mendapatkan pujian dari rejim Suharto. Parlemen Indonesia meresmikan resolusi pada tanggal 11 Februari, menyatakan "penghargaan penuh" atas usaha-usaha perwakilan-perwakilan dari Nepal, Mongolia, Uni-Sovyet dan negara-negara lain di Konperensi Solidaritas Negara-Negara Afrika, Asia dan Amerika Latin, yang berhasil menetralisir usaha-usaha para kontra-revolusioner apa yang dinamakan pergerakan 30 September, dan para pemimpin dan pelindung mereka, kepada bercampur-tangan di dalam urusan dalam negeri Indonesia."

Penangkapan dan pembantaian

Penangkapan Simpatisan PKI

Dalam bulan-bulan setelah peristiwa ini, semua anggota dan pendukung PKI, atau mereka yang dianggap sebagai anggota dan simpatisan PKI, semua partai kelas buruh yang diketahui dan ratusan ribu pekerja dan petani Indonesia lainnya dibunuh atau diisikan ke kamp-kamp tahanan kepada disiksa dan diinterogasi. Pembunuhan-pembunuhan ini dibuat bentuk menjadi di Jawa Tengah (bulan Oktober), Jawa Timur (bulan November) dan Bali (bulan Desember). Berapa jumlah orang yang dibantai tanpa diketahui dengan persis - lebih kurang yang konservatif menyebutkan 500.000 orang, sementara lebih kurang lain menyebut dua hingga tiga juta orang. Tapi diduga setidak-tidaknya satu juta orang dibuat bentuk sebagai korban dalam bencana enam bulan yang menyertai kudeta itu.

Dihasut dan dibantu oleh tentara, kelompok-kelompok pemuda dari organisasi-organisasi muslim sayap-kanan seperti barisan Ansor NU dan Tameng Marhaenis PNI melakukan pembunuhan-pembunuhan massal, terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Tidak kekurangan laporan-laporan bahwa Sungai Brantas di dekat Surabaya dibuat bentuk sebagai penuh mayat-mayat hingga di tempat-tempat tertentu sungai itu "terbendung mayat".

Pada belakang 1965, selang 500.000 dan satu juta anggota-anggota dan pendukung-pendukung PKI telah dibuat bentuk sebagai korban pembunuhan dan ratusan ribu lainnya dipenjarakan di kamp-kamp konsentrasi, tanpa tidak kekurangannya perlawanan tidak dengan syarat apa-apa. Sewaktu regu-regu militer yang didukung dana CIA [1] menangkapi semua anggota dan pendukung PKI yang terketahui dan melakukan pembantaian keji terhadap mereka, majalah "Time" memberitakan:

"Pembunuhan-pembunuhan itu diperllihatkan dalam skala yang sedemikian sehingga pembuangan mayat menyebabkan masalah sanitasi yang serius di Sumatera Utara, di mana udara yang lembap membawa bau mayat membusuk. Penghuni dari daerah-daerah ini menyebutkan cerita kepada kami tentang sungai-sungai kecil yang benar-benar terbendung oleh mayat-mayat. Transportasi sungai dibuat bentuk sebagai terhambat secara serius."

Di pulau Bali, yang sebelum itu dianggap sebagai kubu PKI, paling sedikit 35.000 orang dibuat bentuk sebagai korban di permulaan 1966. Di sana para Tamin, pasukan komando elite Partai Nasional Indonesia, yaitu pelaku pembunuhan-pembunuhan ini. Koresponden khusus dari Frankfurter Allgemeine Zeitung menyebutkan cerita tentang mayat-mayat di pinggir jalan atau dibuang ke dalam galian-galian dan tentang desa-desa yang separuh dibakar di mana para petani tanpa berani membiarkan bebas kerangka-kerangka rumah mereka yang sudah hangus.

Di daerah-daerah lain, para terdakwa dipaksa kepada membunuh teman-teman mereka kepada membuktikan kesetiaan mereka. Di kota-kota agung pemburuan-pemburuan rasialis "anti-Tionghoa" dibuat bentuk menjadi. Pekerja-pekerja dan pegawai-pegawai pemerintah yang bergerak mogok sebagai protes atas kejadian-kejadian kontra-revolusioner ini dipecat.

Paling sedikit 250,000 orang pekerja dan petani dipenjarakan di kamp-kamp konsentrasi. Diperkirakan sekitar 110,000 orang masih dipenjarakan sebagai tahanan politik pada belakang 1969. Eksekusi-eksekusi masih diperllihatkan hingga kini, termasuk belasan orang sejak tahun 1980-an. Empat tapol, Johannes Surono Hadiwiyino, Safar Suryanto, Simon Petrus Sulaeman dan Nobertus Rohayan, dihukum mati hampir 25 tahun sejak kudeta itu.

Supersemar

Lima bulan setelah itu, pada tanggal 11 Maret 1966, Sukarno memberi Suharto kekuasaan tak tertentu melewati Surat Perintah Sebelas Maret. Ia memerintah Suharto kepada mengambil "langkah-langkah yang sesuai" kepada mengembalikan ketenangan dan kepada melindungi keamanan pribadi dan wibawanya. Daya tak tertentu ini pertama kali dipergunakan oleh Suharto kepada melarang PKI. Sebagai penghargaan atas jasa-jasanya, Sukarno dipertahankan sebagai presiden tituler diktatur militer itu hingga Maret 1967.

Kepemimpinan PKI terus mengimbau massa supaya menuruti kewenangan rejim Sukarno-Suharto. Aidit, yang telah melarikan diri, ditangkap dan dibunuh oleh TNI pada tanggal 24 November, tetapi pekerjaannya dilaksanakan oleh Sekretaris Kedua PKI Nyoto.

Pertemuan Jenewa, Swiss

Menyusul peralihan tampuk kekuasaan ke tangan Suharto, diselenggarakan pertemuan selang para ekonom orde baru dengan para CEO korporasi multinasional di Swiss, pada bulan Nopember 1967. Korporasi multinasional selang lain diwakili perusahaan-perusahaan minyak dan bank, General Motors, Imperial Chemical Industries, British Leyland, British American Tobacco, American Express, Siemens, Goodyear, The International Paper Corporation, US Steel, ICI, Leman Brothers, Asian Development Bank, dan Chase Manhattan. Skuat Ekonomi Indonesia menawarkan: tenaga buruh yang jumlah dan murah, cadangan dan asal daya dunia yang melimpah, dan pasar yang agung.

Hal ini didokumentasikan oleh Jhon Pilger dalam film The New Rulers of World (tersedia di situs video google) yang menggambarkan bagaimana kekayaan dunia Indonesia dibagi-bagi bagaikan rampasan perang oleh perusahaan asing pasca jatuhnya Soekarno. Freeport mendapat emas di Papua Barat, Caltex mendapatkan ladang minyak di Riau, Mobil Oil mendapatkan ladang gas di Natuna, perusahaan lain mendapat hutan tropis. Kebijakan ekonomi pro liberal sejak saat itu diperllihatkan.

Peringatan

Monumen Pancasila Sakti, Lubang Buaya

Sesudah peristiwa tersebut, 30 September diperingati sebagai Hari Peringatan Gerakan 30 September. Hari berikutnya, 1 Oktober, diteguhkan sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Pada saat pemerintahan Soeharto, pada umumnya sebuah film mengenai peristiwa tersebut juga diperlihatkan di seluruh stasiun televisi di Indonesia setiap tahun pada tanggal 30 September. Kecuali itu pada saat Soeharto pada umumnya diperllihatkan upacara bendera di Monumen Pancasila Sakti di Lubang Buaya dan dilanjutkan dengan tabur bunga di makam para pahlawan revolusi di TMP Kalibata. Tapi sejak era Reformasi bergulir, film itu sudah tanpa diperlihatkan kembali dan hanya tradisi tabur bunga yang dilanjutkan.

Pada 29 September - 4 Oktober 2006, diselenggarakan rangkaian perkara peringatan kepada mengenang peristiwa pembunuhan terhadap ratusan ribu hingga jutaan jiwa di bermacam pelosok Indonesia. Perkara yang bertingkat "Pekan Seni Daya upaya budi dalam rangka memperingati 40 tahun tragedi kemanusiaan 1965" ini berlanjut di Fakultas Pengetahuan Daya upaya budi Universitas Indonesia, Depok. Kecuali civitas academica Universitas Indonesia, perkara itu juga dikunjungi para korban tragedi kemanusiaan 1965, selang lain Setiadi, Murad Aidit, Haryo Sasongko, dan Putmainah.

Lihat juga

Acuan dan bacaan bertambah lanjut

  • (Inggris) Easter, David, '"Keep the Indonesian pot boiling": Western intervention in Indonesia, October 1965-March 1966', Cold War History, Volume 5, Number 1, February 2005.
  1. ^ Artikel Kompas bertingkat "Sukarno, Malaysia, dan PKI" tanggal Sabtu, 29 September 2007
  2. ^ a b Soekarno, PKI & Malaysia di DetikForum
  3. ^ (JAC Mackie, 1971, hal 214)
  4. ^ Alex Dinuth "Dokumen Terpilih Sekitar G30S/PKI" Intermasa, Jakarta 1997 ISBN 979-8960-34-3
  5. ^ Setiyono, Budi; "REVOLUSI BELUM SELESAI: Kelompok Pidato Presiden Soekarno 30 September 1965"; Nawaksara, Jakarta; 2003

Pranala luar

  • (Indonesia) Soebandrio: Kesaksianku Tentang G30S (BAB I)
  • (Indonesia) Tulisan tentang keterlibatan CIA dalam G 30S/PKI disertai cuplikan konten laporan CIA kepada Presiden Lyndon Johnson
  • (Inggris) Kolektif Info Coup d'etat 65
  • (Indonesia) People's Empowerment Consortium
  • (Indonesia) Pelajaran-Pelajaran Dari Kudeta 1965 Indonesia
  • (Indonesia) Indonesian Institute for the study of the 1965/1966 Massacre
  • (Indonesia) Menyingkap Kabut Halim
  • (Indonesia) Dalih Pembunuhan Massal, karya John Roosa yang dilarang Jaksa Luhur


Asal :
id.wikipedia.org, discussion.web.id, kategori-antropologi.gilland-ganesha.com, wiki.edunitas.com, dll.



   Scholarship Indonesia Application    Center Encyclopedic    Job Vacancies    Informatics Technology Books    Al-Qur'an Online    Psychological Test Questions    Various Kinds Communities    Various Sponsored    Sholat Schedule    Try Out Practice Questions    Day Tuition    Special Class    Free Tuition Fee    Online College Programs in the Best 168 PTS    Online Registration    Download Brochures


  ⍃  
Collection of World Encyclopedia
Impressions  M1, 2 Laptop Mobile
Sites
Executive Tuition Program (Online Lectures)

Profile PTS-PTS
New Student Admission
Department each PTS
Study Program + Career
Our Services
Got Career Baru
Important Info
 ⍃ Asia
 ⍃ Biology
 ⍃ Education
 ⍃ Formula1
 ⍃ History
 ⍃ Kota Pontianak
 ⍃ Kotawaringin Timur
 ⍃ Plant
 ⍃ Religion
 ⍃ Saint Pierre & Miq.
 ⍃ Tokelau
List of Websites Main
List of Websites Day Tuition
List of Websites Master S2 Class Program
List of Websites Special Class
List of Websites Afternoon / Evening Lecture




Valuable Site
Candidates Profile (Archive)
Countries in OCEANIA
Koran online
RSU, RSK in South Sumatra
Whole City & Province